Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Potret Shibuya Crossing di Tokyo, Jepang. (pixabay/uniquedesign52)
Potret Shibuya Crossing di Tokyo, Jepang. (pixabay/uniquedesign52)

Jakarta, IDN Times - Perekonomian Jepang secara tak terduga meleset ke dalam resesi pada akhir tahun lalu. Hal ini menyebabkan negara tersebut kehilangan predikatnya sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia. Posisi tersebut kini digantikan oleh Jerman.

Data resmi produk domestik bruto (PDB) riil Kantor Kabinet Jepang pada Kamis (15/2/2024) melaporkan bahwa PDB Jepang turun 0,4 persen pada Oktober-Desember, meski tumbuh sebesar 1,9 persen sepanjang 2023. Sebelumnya, pada Juli-September, ekonomi negara itu mengalami kontraksi sebesar 2,9 persen. 

Kontraksi dua kuartal berturut-turut dianggap sebagai indikator perekonomian berada dalam resesi teknis, Associated Press melaporkan.

Produk domestik bruto riil merupakan ukuran nilai produk dan jasa suatu negara. Tarif tahunan mengukur apa yang akan terjadi jika tarif triwulanan berlangsung selama satu tahun.

1. PDB Jepang pada 2023 sebesar Rp65,8 kuadriliun, sedangkan Jerman Rp69,7 kuadriliun

Sebelumnya, para analis menilai kontraksi lain pada kuartal tersebut karena lemahnya permintaan di China, lesunya ekonomi, dan terhentinya produksi di salah satu unit Toyota Motor Corp yang menantang menuju pemulihan ekonomi.

Melemahnya yen Jepang juga merupakan faktor utama penurunan peringkat ke posisi keempat karena perbandingan PDB nominal menggunakan dolar. Namun, kelemahan relatif Jepang juga mencerminkan penurunan populasi dan tertinggalnya produktivitas, serta daya saing.

PDB nominal Jepang berjumlah sebesar 4,21 triliun dolar AS (sekitar Rp65,8 kuadriliun) pada 2023, sedangkan PDB Jerman mencapai 4,46 triliun dolar AS (Rp69,7 kuadriliun).

Sementara itu, Amerika Serikat masih menjadi negara dengan perekonomian terbesar di dunia. PDB negara tersebut sebesar 27,94 triliun (Rp436,9 kuadriliun) pada 2023. Lalu, disusul China sebesar 17,5 triliun (Rp273,7 kuadriliun).

Negeri Sakura secara historis disebut-sebut sebagai keajaiban ekonomi. Negara tersebut bangkit dari kehancuran Perang Dunia II dan menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah Washington. Namun, peringkat tersebut hanya bertahan hingga 2010, ketika akhirnya digeser oleh Beijing.

Tercatat, selama 30 tahun terakhir perekonomian Jepang hanya mengalami pertumbuhan moderat. Sebagian besar berada dalam kondisi lesu, setelah runtuhnya 'financial bubble' yang dimulai pada 1990.

2. Menyusutnya populasi dan kekurangan tenaga kerja di Jepang

Ilustrasi area wisata sekitar Dotonbori di Osaka, Jepang. (unsplash.com/jc3211)

Populasi Jepang telah menyusut dan menua selama bertahun-tahun. Sementara populasi Jerman telah meningkat menjadi hampir 85 juta jiwa, yang dibantu oleh imigrasi dalam menutupi rendahnya angka kelahiran.

Menurut profesor ekonomi dari University of Tokyo, Tetsuji Okazaki, data terbaru mencerminkan realitas melemahnya Jepang dan kemungkinan akan mengakibatkan berkurangnya kehadiran negara itu di dunia.

"Beberapa tahun yang lalu, Jepang memiliki sektor otomotif yang kuat misalnya. Namun, dengan munculnya kendaraan listrik, keunggulan tersebut pun terguncang," ungkapnya.

"Banyak faktor yang belum berjalan, tetapi jika kita melihat ke depan dalam beberapa dekade mendatang, prospek Jepang masih suram," tambahnya.

Saat ini, imigrasi menjadi salah satu pilihan untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga kerja di Jepang. Namun, negara itu telatif tidak menerima tenaga kerja asing, kecuali untuk tinggal sementara. Hal ini pun memicu kritik mengenai diskriminasi dan kurangnya keberagaman.

3. Melemahnya yen menyebabkan naikknya biaya hidup dan melemahnya belanja konsumen di Jepang

Bendera Jepang. (Unsplash.com/ Roméo A.)

Faktor kunci lain di balik lesunya pertumbuhan Jepang, yakni stagnasi upah yang membuat rumah tangga enggan berbelanja. Pada saat yang sama, dunia usaha banyak berinvestasi di negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat di luar negeri, dibandingkan dengan negara-negara di dalam negeri yang menua dan menyusut.

Selama bertahun-tahun, konsumen Jepang terbiasa dengan harga yang datar. Namun, imbas melemahnya yen menyebabkan naiknya biaya hidup, mulai dari makanan hingga bahan bakar.

Kepala ekonomi di Dai-Ichi Life Research Institute, Hideo Kumano, mengatakan bahwa meskipun harga konsumen telah meningkat secara substansial, namun belanja konsumen tidak meningkat secara bersamaan.

"Ini benar-benar mencerminkan betapa lemahnya tren belanja negara," kata Kumano, dikutip dari Reuters.

Para analis dan pejabat menyebutkan, penurunan pengeluaran untuk makan di luar sebagai salah satu penurunan konsumsi. Serta, cuaca yang lebih hangat yang berimbas pada penjualan pakaian musim dingin dan meredanya lonjakan permintaan jasa setelah COVID-19.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorRahmah N