Bansos Pemerintah untuk Usaha Mikro Dinilai Belum Tepat Sasaran

Kementerian Keuangan dan Perdagangan perlu evaluasi ulang

Jakarta, IDN Times - Kementerian Keuangan meluncurkan bantuan sosial (bansos) produktif sebagai bagian program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk meningkatkan daya tahan UMKM. Namun, Center for Indonesian Policy Studies menilai, pemberian bansos saja tidak cukup untuk keberlanjutan produktivitas usaha mikro.

"Peningkatan akses UMKM ke pasar digital dapat menjadi salah satu solusi keberlangsungan usaha mikro di tengah pandemik,” ujar peneliti CIPS Siti Alifah Dina, dalam keterangan pers tertulis yang diterima IDN Times, Selasa (3/11/2020).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 84,2 persen produktivitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mengalami penurunan pemasukan akibat dari Pandemik COVID-19. 

Selama ini, pemerintah meluncurkan bansos produktif senilai Rp2,4 juta untuk pelaku usaha mikro yang belum pernah atau tidak sedang menerima pinjaman dari perbankan dan juga memiliki jumlah dana kurang dari Rp2 juta di dalam rekening bank.

1. Kementerian Keuangan perlu mengevaluasi penargetan bansos

Bansos Pemerintah untuk Usaha Mikro Dinilai Belum Tepat SasaranIlustrasi UMKM (IDN Times/Pertamina)

Dalam upaya mendapatkan data pelaku usaha mikro yang memenuhi kriteria penargetan tersebut, Kementerian Keuangan menggunakan kompilasi data dari Kementerian Koperasi dan UKM, Pemerintah Daerah, Otoritas Jasa Keuangan, dan Himpunan Bank Negara (Himbara) seperti BNI, Mandiri, dan BRI.

Bank milik negara tersebut turut berperan dalam menyalurkan bantuan melalui rekening pelaku usaha mikro. Dalam hal ini, Siti Alifah Dina menilai Kementerian Keuangan sebaginya mengevaluasi kembali metode penargetan bansos.

“Untuk tujuan peningkatan produktivitas usaha mikro ini. Sebagian besar pelaku usaha mikro berpotensi “terkecualikan” dalam skema pemberian bansos karena karakteristik usaha mikro di Indonesia yang sebagian besar informal dan belum memiliki akses terhadap layanan perbankan,” ujar Dina, begitu panggilan akrabnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM, usaha mikro didefinisikan sebagai usaha yang memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 juta. Biasanya, usaha tersebut dilakukan di level rumah tangga dengan jumlah tenaga kerja maksimal empat orang dan bergerak di sektor kerajinan, makanan dan minuman, pakaian, dan peralatan rumah tangga.

Menurut data dari International Finance Corporation (IFC)  pada 2016, sekitar 79 persen usaha mikro masih bersifat informal. Tidak hanya itu, laporan dari Global Financial Index Database tahun 2017 menyebutkan bahwa 51 persen masyarakat dewasa Indonesia belum memiliki rekening bank.

Walaupun pendaftaran bisa dilakukan melalui Dinas Koperasi dan UKM di kabupaten/kota, langkah ini harus diimbangi dengan sosialisasi yang ekstensif. Sosialisasi bertujuan agar pelaku usaha mikro, terutama di pedesaan, dapat mengetahui mekanisme bansos ini dan aktif mendaftar.

Baca Juga: Dorong Ekonomi Mikro, BRI Tingkatkan Potensi dan Kapasitas UMKM RI 

2. Perluasan pasar melalui dunia digital efektif tingkatkan penjualan UMKM

Bansos Pemerintah untuk Usaha Mikro Dinilai Belum Tepat SasaranIlustrasi transaksi (IDN Times/Arief Rahmat)

Perluasan pasar bagi pelaku usaha mikro dapat menjadi alternatif solusi untuk usaha mikro yang berkelanjutan. Digitalisasi dapat membuka potensi pasar bagi UMKM menjadi lebih luas sehingga meningkatkan penjualan UMKM khususnya saat pandemi. 

Studi dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa pandemik merupakan alasan utama pelaku UMKM untuk masuk ke dunia digital menurut 71 persen penjual GoFood dan 93 persen social seller yang menggunakan GoSend. Mereka ialah pengusaha individu/mikro yang memiliki sedikit pengalaman berbisnis dan menargetkan jejaring sosial sebagai konsumen melalui media sosial. 

Senada dengan hal tersebut, prospek konsumen digital juga turut meningkat dilihat dari peningkatan penggunaan aplikasi belanja online atau dalam jaringan (daring) sebesar 42 persen menurut infografis BPS.

3. Peraturan Kementerian Perdagangan mengaharuskan pelaku usaha daring memiliki izin

Bansos Pemerintah untuk Usaha Mikro Dinilai Belum Tepat SasaranGrab Gelar Online Bazar #TerusUsaha di 16 Kota (Dok. IDN Times)

Perluasan pasar melalui digitalisasi terbukti menjadi alternatif yang baik untuk pelaku UMKM saat ini. Namun sayangnya, Kementerian Perdagangan justru mewajibkan pelaku usaha yang menggunakan sistem daring untuk memiliki izin per tanggal 1 November 2020.

Dasar hukum pemberlakuan izin tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha melalui Sistem Elektronik. Pasal 39- Pasal 41 peraturan tersebut menjelaskan bahwa pelaku usaha yang tidak memiliki izin dapat dikenakan sanksi administratif. 

Sanksi tersebut berupa teguran tertulis sebanyak maksimal tiga kali. Kemudian, jika tidak digubris maka akan dimasukkan ke dalam daftar hitam dan atau pemblokiran sementara.

4. Kementerian Perdagangan perlu mempertimbangkan peraturan tersebut

Bansos Pemerintah untuk Usaha Mikro Dinilai Belum Tepat SasaranIlustrasi Belanja E-commerce (IDN Times/Arief Rahmat)

Dina mengatakan untuk mendorong digitalisasi usaha mikro, Kementerian Perdagangan dapat mempertimbangkan pengecualian pemberlakuan izin perdagangan daring, khusus untuk usaha miktro. Paling tidak, ujarnya melanjuti, setidaknya menunda setelah pandemik dapat diatasi di tahun depan.

Berkaca dari laporan IFC tentang adanya kendala perizinan untuk perdagangan konvensional atau offline, sebanyak 33 persen pelaku usaha mikro dan kecil menganggap bahwa proses perizinan terlalu rumit. Sedangkan, 27 persen pelaku usaha mikro dan kecil menyebutkan bahwa mereka tidak melihat adanya manfaat dari perizinan bagi usaha mereka.

5. Berkaca dari negara lain dalam pemberlakuan izin usaha daring

Bansos Pemerintah untuk Usaha Mikro Dinilai Belum Tepat SasaranIlustrasi Belanja E-commerce (IDN Times/Arief Rahmat)

Menyikapi hal tersebut, Kementerian Perdagangan dapat melihat bagaimana negara lain mengatur sistem perdagangan daring untuk melindungi hak konsumen, salah satunya ialah Inggris. Alih-alih memberlakukan izin, Inggris menetapkan peraturan yang harus ditaati dan menerapkan sanksi jika ada pelaku usaha yang melanggar peraturan tersebut.

Beberapa hal yang diatur Inggris, yakni mencantumkan secara jelas langkah-langkah pemesanan, mencantumkan kontak setidaknya dalam bentuk email, menjelaskan jenis barang atau jasa yang dijual dengan lengkap, dan menjelaskan bagaimana harga total barang serta biaya antar dihitung.

Pendekatan Inggris terbukti berhasil dalam mewujudkan perdagangan melalui sistem daring yang aman dengan tidak menghambat kemudahan berusaha bagi pelaku usaha.

Baca Juga: Membeludak, Pendaftar Bansos Produktif Tembus 28 Juta UMKM

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya