Menakar Seberapa Kuat Ekonomi RI Tumbuh saat Dibayangi Krisis Global

Indonesia harus mampu lewati krisis global

Jakarta, IDN Times  - Dibayangi sejumlah faktor risiko, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2022 malah diramal bakal gemilang oleh Bank Dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai Bank Dunia sebagai satu yang paling resilien di dunia, di tengah kondisi global yang penuh krisis saat ini.

Hal itu tercermin dari proyeksi Bank Dunia terhadap perekonomian Indonesia yang bakal tumbuh 5,1 persen pada 2022 atau hanya turun 0,1 poin persentase (pp) dari proyeksi sebelumnya. Proyeksi tersebut masih berada dalam kisaran outlook pemerintah, yakni 4,8 persen hingga 5,5 persen.

Merunut ke belakang, ekonomi Indonesia diklaim tumbuh positif di kisaran 5 persen dalam dua kuartal terakhir, meski di tengah bayang-bayang kenaikan kasus COVID-19. Pada kuartal I-2022 pertumbuhan ekonomi tercatat 5,01 persen.

"Ini harus kita pertahankan, kita tingkatkan di kuartal yang kedua," kata Presiden Joko "Jokowi" Widodo kepada jajarannya pada 9 Mei 2022.

Seperti apa tantangan yang membayangi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan seberapa besar proyeksi Bank Dunia dapat terwujud?

Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi RI di Atas Rata-Rata Dunia, Kalahkan China!

1. Faktor penghambat pertumbuhan ekonomi, 3C dan 3F

Menakar Seberapa Kuat Ekonomi RI Tumbuh saat Dibayangi Krisis GlobalInfografis Membaca Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (IDN Times/Sukma Mardya Shakti)

Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono mencatat sejumlah risiko yang mampu mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari banyak faktor penghambat, Yudo mengategorikannya menjadi enam faktor yang disebutnya sebagai '3 C dan 3 F'. 

C yang pertama adalah COVID-19. Virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China itu tentu menjadi momok bagi perekonomian Indonesia. Meskipun setelah varian Omicron, penambahan kasus COVID-19 di Indonesia menurun drastis, namun pengetahuan mengenai virus ini sangat jauh dari sempurna.

"Faktor COVID-19 ini kan jangka panjang ya. Kita ingat 2020 dan 2021 silam tidak sedikit pekerja yang harus kehilangan mata pencahariannya. Itu kan meninggalkan efek yang panjang,” kata Yudo kepada IDN Times, beberapa waktu lalu.

Faktor C kedua, kata Yudo, yakni China. Implementasi kebijakan nol COVID-19 yang diterapkan oleh China, berdampak terhadap harga komoditas global. “China masih menerapkan kebijakan nol COVID-19 ya. Ini berdampak terhadap stok supply chain yang akhirnya terhambat,” kata Yudo.

Selanjutnya, Yudo menyebut conflict atau konflik sebagai faktor C yang ketiga. Dia menyoroti konflik antara Rusia dan Ukraina yang sedikit banyak berpengaruh terhadap Indonesia.

“Meskipun, secara implikasi langsung terhadap Indonesia ya kalau kita lihat datanya relatif minimal, Rusia itu sendiri kan merupakan negara trading partner dengan Indonesia dengan urutan ke-23 ya. Sedangkan, Ukraina itu berada di urutan ke-44. Namun, ekonomi itu kan seperti bejana berhubungan ya. Bisa saja dari Rusia maupun Ukraina kita tidak terdampak langsung namun bisa saja dari China, AS, dan sejumlah negara di eropa lainnya,” ujar Yudo.

Selain faktor C, menurut Yudo, masih tersisa 3 F. Faktor F yang pertama adalah fuel alias bahan bakar minyak (BBM). Harga BBM yang cukup tinggi imbas dari konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina cukup berdampak terhadap perekonomian dalam negeri. 

“Untuk APBN ada dua sisi ya. Ada sisi menguntungkan dan ada juga sisi yang tidak menguntungkan seperti beban subsidi yang membengkak. Risiko menaikkan BBM mau gak mau harus dihadapi oleh pemerintah,” kata Yudo. 

Food atau makanan menjadi F yang kedua. Ketersediaan pangan memang juga dipengaruhi dengan adanya konflik. Rusia dan Ukraina merupakan negara eksportir sejumlah bahan pangan terbesar di dunia. Sejumlah negara akhirnya melakukan pengetatan ekspor komoditas.

Kemudian, China yang juga pada akhirnya melakukan pengetatan ekspor pupuk. Disusul oleh India bahkan Indonesia yang juga ikut menerapkan kebijakan pengetatan ekspor, khususnya crude palm oil (CPO).

“Waktu di 2020 kita ingat setiap negara juga sempat melarang ekspor peralatan Kesehatan ya. Di saat dunia membutuhkan kerja sama global yang terjadi justru perspektif individualis muncul. Nah, ini yang perlu diwaspadai,” kata Yudo.

F yang terakhir, adalah Fed Rate, yakni rate yang dirilis oleh The Fed. Tidak bisa dimungkiri stimulus di Amerika Serikat berdampak cukup besar terhadap Indonesia dengan angka yang mencapai sekitar Rp1,9 triliun atau 25 persen dari GDP tiba tiba mendorong demand lebih cepat dari supply yang ada.

“Alhasil, inflasi naik dan mau gak mau fed rate juga naik terus. Awal Mei naik 50 basis poin. Efeknya nanti ya pasti akan berdampak terhadap pasar keuangan di Indonesia. Itulah 3 F dan 3 C yang menjadi downside risk untuk Indonesia,” katanya. 

Baca Juga: Sandiaga Uno: Pertumbuhan Ekonomi RI Tertinggi Kedua di ASEAN

2. Melonjaknya harga komoditas

Menakar Seberapa Kuat Ekonomi RI Tumbuh saat Dibayangi Krisis Globalilustrasi ekspor impor (IDN Times/Aditya Pratama)

Menyoroti lebih dalam terhadap naiknya harga BBM dunia, Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) menyebut hal itu berimbas terhadap peningkatan harga sejumlah komoditas global. Sebab, itu memengaruhi arus ekspor oleh sejumlah negara.

"Harga energi meningkat akhirnya mempengaruhi harga sejumlah komoditas secara umum ya. Akhirnya, menjadi problem nih. Secara global kenaikan harga BBM berpengaruh ya karena logistik terutama produk impor dari luar meningkat tajam," Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad.

Taufik menambahkan, sejumlah negara kini mempunyai permintaan yang cukup tinggi terkait dengan kebutuhan akan sejumlah komoditas. Alhasil, sejumlah negara cenderung mengamankan stok bahan baku untuk kebutuhan dalam negeri mereka masing-masing. Terlebih, konflik Ukraina dan Rusia juga membuat harga komoditas global semakin melonjak.

"Banyak negara kini request stok ya karena tahu bahwa di tingkat dunia logistik menjadi isu yang fundamental. Banyak negara juga menahan ekspor. Akhirnya, faktor-faktor tersebut membuat harga komoditas global meningkat tajam. Seperti India nahan ekspor gandum, Malaysia soal ayam. Otomatis harga pangan melonjak naik ya," katanya.

Meningkatnya harga komoditas juga membuat tingkat inflasi global tidak tertahankan. Di dalam negeri, tingkat inflasi inflasi tahun kalender dari awal tahun hingga Mei 2022 tercatat 2,56 persen year to date (ytd) diprediksikan bisa terus bertumbuh.

"Inflasi year to date ini belum sampai Juni aja sudah hampir menyentuh angka 3 persen ya. Kalau kenaikan rata-rata katakanlah 0,3 dikalikan enam bulan sekitar 1,8 ya nanti bisa di atas 4 persen dong. Bahkan, bisa mencapai 5 persen. Apalagi rata-rata bulanannya mencapai 0,4 jelas nanti lebih tinggi ya. Ini yang dikhawatirkan," ucapnya.

3. Indonesia boleh pede

Menakar Seberapa Kuat Ekonomi RI Tumbuh saat Dibayangi Krisis GlobalTeguh Yudo Wicaksono, Head of Mandiri Institute dalam acara Fortune Indonesia Summit 2022 pada Rabu (18/5/2022). (IDN Times/Herka Yanis)

INDEF juga berharap Indonesia dapat melihat konflik global dari sudut yang bebeda. Tak sedikit investor kabur dari negara-negara yang tengah berkonflik, hal ini dianggap harus dimanfaatkan sebagai peluang oleh Indonesia. Terlebih, Indonesia menyatakan diri sebagai negara nonblok.

"Peluang terbesar dari krisis global ini kan sebenarnya ada di sektor investasi ya. Tidak sedikit investor lari ya dari negara-negara lain seperti dua negara yang sedang berkonflik (Rusia dan Ukraina) atau negara lainnya. Kita kan mengambil posisi non blok ya tidak memihak dari dua kubu ini," kata Tauhid.

Tidak hanya menarik investor, Indonesia perlu menyesuaikan kebutuhan investor yang berasal dari negara-negara yang sedang berkonflik dengan potensi khususnya dari sektor industri yang dimiliki oleh Indonesia.

"Dari aspek lainnya seperti komoditas ini kan sedang naik ya. Buka eskpor batu bara, CPO, dan sebagainya. Kepentingan domestik atau DMO (domestic market obligation) tidak boleh banyak keluar juga ya," katanya.

Senada, Mandiri Institue juga yakin Indonesia bisa mengatasi berbagai aspek negatif yang bisa terdampak kepada pertumbuhan ekonomi. Dengan sederet faktor penghambat ekonomi tersebut, bukan berarti Indonesia tidak layak optimistis terhadap outlook ekonomi di 2022.

Menurut hitungan Teguh Yudo Wicaksono, dari skala 1 sampai 10, kekuatan Indonesia dalam pertumbuhan ekonominya bisa diberi poin 8. "Saya memprediksikan ekonomi kita masih akan cukup solid di tahun 2022. Selain keberhasilan kita mengendalikan COVID-19, kita banyak belajar sih selama dua tahun ini. Khususnya, di sektor bisnis dan usaha serta pengambil kebijakan," ujar Yudo.

Keyakinan itu, kata Yudo, tak lepas dari sejumlah faktor melatarbelakangi, salah satunya yakni tingkat konsumsi masyarakat yang mengalami peningkatan signifikan. Konsumsi masyarakat mencapai fase tertinggi selama dua tahun pandemi COVID-19.

"Kita bisa katakan memang dari sisi konsumsi, spending kita sudah balik lagi seperti sebelum pandemi COVID-19. Kini, sudah mencapai 179,4 persen ya. Artinya, 79,4 persen lebih tinggi jika dibandingkan Januari 2022. Jadi, sudah balik lagi ya (tingkat konsumsi masyarakat)," ucap Yudo.

Tren pertumbuhan konsumsi masyarakat sendiri kini tidak hanya tersentral di wilayah Jawa, akan tetapi pertumbuhan juga terjadi di luar Jawa. Terlebih, nilai ekspor juga menjadi sorotan Yudo. Trade balance di Indonesia berdasarkan catatannya mencapai 7,56 miliar dolar AS.

"Tren tersebut menunjukkan adanya pemulihan ekonomi. Trade balance juga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa ya. Faktor pendorong terbesar memang berasal dari harta komoditas. Kalau ditanyakan optimis ya saya optimis karena indikatornya solid. Mudah-mudahan konflik (Rusia dan Ukraina) berkurang ya. Secara overall 2023 sampai 2024 ekonomi akan cukup solid," ucap Yudo.

4. Kebijakan fiskal, langkah tepat di tengah ketidakpastian global

Menakar Seberapa Kuat Ekonomi RI Tumbuh saat Dibayangi Krisis GlobalANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Perekonomian global terus diwarnai dengan meningkatnya inflasi di tengah pertumbuhan yang diprakirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Berlanjutnya ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina, yang disertai dengan pengenaan sanksi yang lebih luas dan kebijakan zero COVID-19 di Tiongkok, menahan perbaikan gangguan rantai pasokan.

Terlepas dari faktor eksternal, di dalam negeri, Bank Indonesia juga tidak menutup mata bahwa upaya penerapan kebijakan fiskal yang tepat menjadi langkah yang diperlukan di tengah ketidakpastian global. Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan gangguan dari sisi suplai tersebut disertai dengan meluasnya kebijakan proteksionisme terutama pangan oleh berbagai negara, mendorong tingginya harga komoditas global yang berdampak pada peningkatan tekanan inflasi global.

Berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS), merespons kenaikan inflasi tersebut dengan menempuh pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif sehingga berpotensi menahan pemulihan perekonomian global dan mendorong peningkatan risiko stagflasi.

“Pertumbuhan ekonomi berbagai negara, seperti AS, Eropa, Jepang, Tiongkok, dan India diprakirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Volume perdagangan dunia juga diperkirakan lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Perkembangan tersebut berdampak pada ketidakpastian pasar keuangan global yang masih akan tetap tinggi sehingga mendorong terbatasnya aliran modal asing dan menekan nilai tukar di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia,” kata Perry.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Juni 2022 juga memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25 persen.

Perry mengatakan keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar, serta tetap mendukung pertumbuhan ekonomi, di tengah naiknya tekanan eksternal terkait dengan meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara.

“Ke depan, ketidakpastian ekonomi global diprakirakan masih akan tinggi seiring dengan makin mengemukanya risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan inflasi global, termasuk sebagai akibat dari makin meluasnya kebijakan proteksionisme terutama pangan, yang ditempuh oleh berbagai negara,” ucapnya.

Untuk itu, Bank Indonesia terus menempuh berbagai langkah penguatan bauran kebijakan sebagai berikut:

  • Memperkuat kebijakan nilai tukar rupiah untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan mendukung pengendalian inflasi dengan tetap memperhatikan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya.
  • Mempercepat normalisasi kebijakan likuiditas dengan meningkatkan efektivitas pelaksanaan kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) dan Operasi Moneter Rupiah.
  • Melanjutkan kebijakan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dengan pendalaman pada komponen Overhead SBDK.
  • Melanjutkan masa berlaku kebijakan tarif SKNBI sebesar Rp1 dari Bank Indonesia ke bank dan maksimum Rp2.900 dari bank kepada nasabah, dari semula berakhir 30 Juni 2022 menjadi sampai dengan 31 Desember 2022 guna meningkatkan efisiensi biaya dan aktivitas ekonomi masyarakat serta memudahkan transaksi keuangan dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi.
  • Memperkuat kebijakan internasional dengan memperluas kerja sama cross border payment connectivity, fasilitasi penyelenggaraan promosi investasi dan perdagangan di sektor prioritas bekerja sama dengan instansi terkait, serta bersama Kementerian Keuangan menyukseskan 6 (enam) agenda prioritas jalur keuangan Presidensi Indonesia pada G20 tahun 2022.

5. Bersiap untuk risiko tekanan inflasi

Menakar Seberapa Kuat Ekonomi RI Tumbuh saat Dibayangi Krisis GlobalIlustrasi Inflasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Bank Indonesia terus mencermati risiko tekanan inflasi ke depan, termasuk ekspektasi inflasi dan dampaknya terhadap inflasi inti, dan akan menempuh langkah-langkah normalisasi kebijakan moneter lanjutan sesuai dengan data dan kondisi yang berkembang.

“Koordinasi dengan Pemerintah (Pusat dan Daerah) dan instansi terkait melalui Tim Pengendalian Inflasi (TPIP dan TPID) makin diperkuat untuk mengelola tekanan inflasi dari sisi suplai dan mendorong produksi. Guna menjaga stabilitas makroekonomi dengan tetap mendukung proses pemulihan ekonomi nasional, koordinasi kebijakan moneter dan fiskal terus ditingkatkan,” ujarnya.

Demikian pula, koordinasi di bawah Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) serta koordinasi bilateral antara Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus diperkuat dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.

Meski demikian, kata Perry, inflasi domestik meningkat karena tingginya tekanan sisi penawaran seiring dengan kenaikan harga komoditas dunia. Pada Mei 2022, Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat inflasi sebesar 0,40 persen (mtm) atau 3,55 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya sebesar 3,47 persen (yoy), seiring dengan peningkatan harga komoditas global.

“Inflasi inti tetap terjaga sebesar 2,58 persen (yoy) di tengah meningkatnya permintaan domestik dan konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam menjaga ekspektasi inflasi. Sementara itu, inflasi kelompok volatile food meningkat terutama dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan global dan terganggunya pasokan akibat cuaca. Inflasi kelompok administered prices juga masih tercatat tinggi dipengaruhi oleh inflasi angkutan udara dan energi,” katanya.

Sementara, tekanan inflasi IHK meningkat didorong oleh kenaikan harga energi dan pangan global. Inflasi IHK pada 2022 diprakirakan sedikit lebih tinggi dari batas atas sasaran, dan kembali ke dalam sasaran 3,0±1 persen pada 2023.

"Bank Indonesia terus mewaspadai tekanan inflasi ke depan dan dampaknya pada ekspektasi inflasi serta menempuh kebijakan penyesuaian suku bunga apabila terdapat tanda-tanda kenaikan inflasi inti. Bank Indonesia juga terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID)," kata Perry.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya