Pemerintah Diminta Kaji Ulang RPJMN 2020-2024

RPJMN 2020-2024 dinilai diskriminatif ke sektor tembakau

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyoroti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Misbakhun belum melihat pada RPJMN 2020-2024 ini adanya upaya yang terintegrasi walaupun judulnya RPJMN. Ia mengaku heran mengapa kemudian prevalensi merokok remaja dan sebagainya menjadi acuan.

Padahal menurut berbagai kajian resmi, tugasnya pemerintah dengan persentase yang ada pada 2019 kan sudah makin melandai dan isu prevalensi merokok remaja dan anak-anak ini sudah tidak menjadi sebuah acuan.

Baca Juga: Jokowi: Saya Ingin RPJMN Bukan Sekadar Dokumen Formalitas, tapi Acuan 

1. Sejumlah kebijakan di RPJMN 2020-2024 dinilai restriktif

Pemerintah Diminta Kaji Ulang RPJMN 2020-2024Ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Sebagai informasi, di dalam RPJMN 2020-2024 terdapat beberapa kebijakan yang restriktif terhadap kelangsungan industri hasil tembakau (IHT). Antara lain, reformasi kebijakan cukai melalui penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau, peningkatan tarif cukai hasil tembakau, pelarangan total iklan dan promosi rokok, memperbesar pencantuman peringatan bergambar bahaya merokok, dan revisi PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Menurut Misbakhun, kecenderungan pemerintah dalam RPJMN itu setuju terhadap sebuah kebijakan simplifikasi tarif cukai, seakan-akan tidak melihat sebuah kepentingan. Ia berharap RPJMN yang disusun pemerintah dapat lebih objektif.

“Di RPJMN ini, saya tidak menemukan sama sekali bahwa penerimaan cukai adalah salah satu tulang punggung penerimaan negara,” kata Misbakhun dalam rapat kerja Komisi XI dengan Menteri PPN/Bappenas belum lama ini, seperti dikutip Minggu (6/2/2022).

Baca Juga: Rumitnya Lapisan Tarif Cukai Rokok di RI Bikin Konsumsi Rokok Naik

2. Simplifikasi cukai dinilai menguntungkan kelompok industri besar

Pemerintah Diminta Kaji Ulang RPJMN 2020-2024Ilustrasi Cukai Rokok (IDN Times/Arief Rahmat)

Legislator Partai Golkar ini mengatakan RPJMN 2020-2024 bagaimana mungkin bersifat asimetris, hanya menilai cukai dari sisi kesehatan semata. Dia menilai kebijakan simplifikasi cukai juga hanya menguntungkan industri besar.

“Simplifikasi hanya menguntungkan kelompok industri besar. Bagaimana kemudian kita tidak pernah punya roadmap industri-industri rumahan yang menghasilkan dampak ekonomi, kalau kita membicarakan gini rasio dan sebagainya,” katanya.

Misbakhun menyampaikan industri tembakau menghasilkan sebuah potensi ekonomi yang sangat besar. Tidak hanya menimbulkan dampak pada penerimaan negara, tapi juga menghidupkan perekonomian di tingkat pertanian maupun industri-industri kecil pertembakauan yang dikelola oleh masyarakat.

Pihaknya tidak pernah menyangkal bahwa ada isu mengenai kesehatan. Tetapi, sambung Misbakhun, rokok bukan satu-satunya permasalahan di dalam dunia kesehatan sebagai penyebab tingkat kematian, kemiskinan, dan sebagainya.

“Seharusnya RPJMN membicarakan bagaimana tembakau itu menjadi produk pertanian strategis, membicarakan bagaimana penerimaan cukai itu menopang sekitar Rp200 triliun, dan memberikan dukungan yang sangat kuat terhadap penerimaan negara kita,” tegasnya.

 

3. Misbakhun minta pemerintah kaji ulang RPJMN 2020-2024

Pemerintah Diminta Kaji Ulang RPJMN 2020-2024Instagram/@dulurcakbakhun

Mantan pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan ini menginginkan RPJMN lebih obyektif, walaupun sudah disusun. Apalagi menurutnya, dalam RPJMN ini penyakit-penyakit tidak menular lainnya yang disebabkan oleh rokok itu dibicarakan sangat serius.

“Seakan-akan rokok ini satu-satunya penyebab masalah kesehatan di Indonesia,” cetusnya.

Misbakhun berharap Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Suharso Monoarfa dapat mengkaji ulang aturan dalam RPJMN 2020-2024. Pasalnya, menurut Misbakhun, RPJMN selalu dijadikan alasan Menteri Keuangan untuk menaikkan tarif cukai tembakau.

“Saya mengharapkan ada upaya-upaya yang lebih obyektif dan komprehensif melihat situasi pertembakauan kita. Karena Menteri Keuangan selalu berbicara berdasarkan RPJMN yang disusun ini,” ujar dia.

Sebagai informasi, sepanjang 2021 penerimaan cukai juga tumbuh 10,89 persen menjadi Rp195,52 triliun yang didorong oleh penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) senilai Rp188,81 triliun. Penerimaan CHT di 2021 itu tumbuh 10,91 persen dibandingkan tahun 2020.

Baca Juga: Cukai Rokok Naik, KADIN Usul 2 Insentif Buat Petani Tembakau

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya