Kisah Teaspace, Bisnis Tea House sekaligus Tempat Beguru soal Teh

Omzet Rp50 juta per bulan meski baru berdiri 2019 lalu

Jakarta, IDN Times – Ketika bisnis coffee shop sudah menjamur di Indonesia, bisnis tea house baru merintis jalannya. Salah satunya adalah Teaspace yang didirikan sejak 2019 lalu. Sakirin, Founder CEO Teaspace menilai celah untuk berkembangnya bisnis tea house masih luas di tengah tren coffee shop yang sudah lebih dahulu marak.

Tea house itu jadi peluang saat menjamurnya kedai kopi, minumam-minuman yang berbahan dasar, kenapa teh gak, dan market itu masih luas. Terlebih orang sudah mulai jenuh sama kopi. Food and beverages itu taste, gak bertahan di selera itu terus, perlu ada subsitusi, ada cita rasa yang beda, khasiat yang beda,” kata kata Kirin kepada IDN Times beberapa waktu lalu.

Dia pun semakin optimistis akan peluang bisnis tea house karena dia menilai jati diri orang Indonesia sebenarnya adalah peminum teh ketimbang kopi. Teh, menurutnya, sudah sejak lama menjadi kebiasaan sehari-hari.  

"Ketika makan di warteg misalnya, orang akan memilih minum teh, bukan kopi,” tuturnya. Kirin sendiri sudah minum teh sejak kecil. Sehari-hari, dirinya lebih banyak meminum teh daripada air mineral.

Baca Juga: Cerita Kuliner Legendaris Liang Teh Ayong Bertahan saat Pandemik

1. Melihat celah dari rendahnya konsumsi teh di Indonesia dibanding negara lain

Kisah Teaspace, Bisnis Tea House sekaligus Tempat Beguru soal TehIlustrasi teh, bubuk teh, tea house di Teaspace (IDN Times/Shemi)

Alasan lain yang membuat Sakirin yakin bisnis tea house ini bisa berkembang adalah rendahnya konsumsi teh di Indonesia dibanding negara lain seperti Eropa dan Timur Tengah. Menurutnya, konsumsi teh di Indonesia hanya 500-600 gram per kapita per tahun, kalah jauh dibanding Eropa dan Timur Tengah yang konsumsinya bisa mencapai tiga kali lipat.

“Tentu gak bisa dibandingkan dengan konsumsi kopi ya. Gak apple-to-apple. Karena kopi satu sajian bisa pakai 17-20 gram. Kalau teh 2-3 gram aja cukup. Kalau misalkan per kapita rendah karena takaran per saji rendah,” kata Kirin.

Padahal kebanyakan teh dari Eropa dan Timur Tengah juga berasal dari Indonesia. Permasalahan utamanya karena merek atau branding. “Yang merek terkenal di luar negeri itu asal tehnya dari Indonesia. Padahal teh terbaik di dunia itu asalnya dari Indonesia. Mereka beli di kita terus di-branding ulang,” ucap Sakirin.

2. Didirikan dengan modal ratusan juta rupiah hingga raup omzet Rp50 juta per bulan

Kisah Teaspace, Bisnis Tea House sekaligus Tempat Beguru soal TehIlustrasi teh, bubuk teh, tea house di Teaspace (IDN Times/Shemi)

Berbagai alasan itu yang membawa Kirin berani membulatkan tekad untuk mendirikan Teaspace. Kirin sendiri mengakui modal mendirikan bisnis ini tidak murah. Ia bersama kedua orang temannya harus merogoh kocek hingga ratusan juta. Uang tersebut digunakan untuk membeli peralatan teh, membeli suplai teh, sewa tempat hingga membayar karyawan.

Dengan harga teh berkisar belasan hingga puluhan ribu per cangkir, Teaspace bisa meraup omzet Rp30-50 juta per bulan dari lima lini bisnis yang dia jalankan. Perkembangan omzet terhitung pesat dalam rentang waktu kurang lebih dua tahun bisnis ini dijalankan.

Sakirin menggunakan strategi Blitzscaling dalam menjalankan bisnisnya. Ini adalah sebuah kerangka atau teknik untuk mencapai skala besar dengan kecepatan yang sangat sangat cepat dengan ‘melawan’ aturan manajemen atau bertentangan dari teori bisnis.

“Kuncinya Blitzscaling. Ketika lempar produk di pasar, produk itu jadi hype dengan banyak sale, produk itu yang akan kita gempur. Berat ya kalau melawan hype kopi, tapi gue yakin naik, sudah mulai kelihatan nih, sudah banyak tea house, dulu susah cari minum selain kopi, tinggal gimana up lagi,” papar mantan jurnalis itu.

Baca Juga: Pernah Bangkrut, Ini Kisah Ivan Tandyo Bangun Bisnis dari Nol

3. Mengembangkan lima lini bisnis

Kisah Teaspace, Bisnis Tea House sekaligus Tempat Beguru soal TehIlustrasi teh, bubuk teh, tea house di Teaspace

Teaspace tidak hanya sebatas menjual teh dalam berbagai rasa. Kini, mereka mengembangkan lima lini bisnis. Selain penjualan teh secara online melalui marketplace; Teaspace juga menyajikan galeri teh yang sudah berjalan sekitar tiga bulan terakhir.

Lini bisnis ketiga adalah sebagai konsultan bagi mereka yang ingin mendirikan coffee shop atau tea house. Lini berikutnya adalah edukasi malalui display sederetan toples, di mana konsumen bisa mendapatkan penjelasan tentang cara seduh hingga manfaatnya.

“Kelima dan yang terbaru kami mau coba booth teh, kita coba jangkau masyarakat menengah ke bawah dengan menu-menu yang sudah familiar dan diganti bahan dasar teh. Misal ada kopi susu, kita kasih milktea. Sekarang ini masih prototype,” ujar Kirin.

4. Ragam jenis teh yang disediakan Teaspace

Kisah Teaspace, Bisnis Tea House sekaligus Tempat Beguru soal TehIlustrasi teh, bubuk teh, tea house di Teaspace (IDN Times/Shemi)

Kamu bisa mencoba banyak menu varian teh di Teaspace ini mulai dari black tea, earl grey, chamomile, green tea, white tea, dried lemon, hingga kombucha, jasmine, hibiscus, butterfly pea loo, blooming tea, dan masih banyak lagi lainnya. Menurut Kirin, produk teh yang paling laku adalah teh leci dan black tea.

Jenis-jenis teh tersebut kemudian diriset setiap hari untuk menghadirkan ragam varian rasa teh yang unik. Sharon, salah satu karyawan Teaspace, mengaku kerap menggabungkan beberapa jenis teh untuk mendapatkan rasa dan khasiat terbaik.

“Gue pernah coba mix black tea sama beberapa rempah-rempah. Dan itu bagus banget diminum setelah olahraga biar otot cepat rileks,” katanya.

Dalam mendapatkan teh terbaik, Teaspace bekerja sama dengan PT Perkebunan Nusantara VIII, atau biasa disingkat menjadi PTPN VIII.  Sebuah BUMN yang bergerak di bidang perkebunan teh, karet, kina, kakao, kelapa sawit, dan getah perca. “Ada juga dari vendor lain, tapi mayoritas ambil dari PTPN VIII,” aku Sakirin.

Baca Juga: 6 Cara Membuat Proposal Bisnis Makanan dan Minuman

5. Menyentuh langsung pengunjung untuk berikan edukasi soal teh

Kisah Teaspace, Bisnis Tea House sekaligus Tempat Beguru soal TehCEO tea house Teaspace, Sakirin (IDN Times/Shemi)

Kecintaan Kirin pada teh membuatnya ingin menghadirkan minuman ini di tengah masyarakat. Meski Indonesia sudah punya budaya kuat dalam minum teh, menurut Kirin, banyak orang yang belum paham mengenai teh itu sendiri.

"Kita gak terlalu paham soal teh, padahal banyak yang bisa dieksplorasi. Sayang banget kalau gak paham sama teh dan lidah kita biasa sama teh yang standar," tuturnya.

Atas dasar hal itulah, Teaspace yang pada awalnya Teaspace hanya menjual teh secara online, kini telah membangun toko offline dengan display yang mumpuni. Tanpa itu, akan sulit untuk menjangkau masyarakat dan memberikan edukasi.

“Jadi masyarakat harus coba langsung, itu marketing paling efektif. Orang bisa merasakan dan bisa komentar,” kata dia.

Pengunjung tidak hanya akan mendapatkan ilmu soal jenis-jenis teh tapi juga karakter dan manfaatnya bagi tubuh. “Orang sekarang udah mulai aware sama green tea. Kita mau buka market, edukasi masyarakat bahwa teh macam-macam, masih banyak yang lain,” tuturnya.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya