Pengunjung berjalan didekat layar digital yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (8/4/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)
Menurut David, penguatan IHSG dalam sepekan terakhir dipengaruhi oleh kombinasi sentimen global dan domestik. Dari sisi global, terdapat dua faktor utama, yakni rencana penerapan tarif impor oleh Amerika Serikat (AS) dan arah kebijakan suku bunga The Fed.
Dia menjelaskan, AS berencana mengenakan tarif sebesar 32 persen terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, mulai 1 Agustus. Meski demikian, proses negosiasi yang masih berlangsung dan kemungkinan adanya kompromi hingga akhir Juli dinilai menjadi faktor pendukung pergerakan pasar.
Sementara itu, The Fed masih mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25-4,5 persen. Namun, tekanan inflasi yang mulai mereda mendorong ekspektasi pasar terhadap potensi pemangkasan suku bunga pertama pada kuartal IV-2025, yang kemudian meningkatkan minat risiko di pasar negara berkembang.
Di sisi domestik, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5,50 persen. Keputusan itu didukung oleh penguatan nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh Rp16.224 per dolar AS, seiring dengan masuknya aliran modal asing. IPOT menilai kebijakan tersebut mencerminkan komitmen BI dalam menjaga stabilitas moneter di tengah tekanan eksternal.
"Selanjutnya ada sentimen terkait potensi energi terbarukan, di mana pemerintah kembali menegaskan komitmen terhadap target 23 persen bauran energi terbarukan di 2025. Sektor energi bersih dan nikel akan mendapat perhatian lebih di tengah kerja sama mineral strategis dengan AS," tuturnya.