Industri Berdarah-darah, Banyak Hotel di Jakarta Dijual Murah

- Hotel di Jakarta dijual dengan harga murah, salah satunya di Pademangan seharga Rp50 miliar, Grogol seharga Rp65 miliar, dan Bandengan seharga Rp80 miliar.
- Tingkat okupansi hotel terus menurun, 96,7% hotel melaporkan penurunan hunian. Banyak hotel melakukan PHK massal dan strategi efisiensi operasional.
- Penurunan pasar pemerintahan memperburuk ketergantungan industri hotel pada wisatawan domestik. Pelaku usaha harus tanggung biaya operasional yang meningkat signifikan.
Jakarta, IDN Times - Industri hotel di Jakarta tengah berdarah-darah. Minimnya tingkat okupansi atau hunian, tingginya biaya operasional, dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal membuat banyak hotel di Jakarta masuk dalam daftar jual bahkan dengan banderol harga murah.
Berdasarkan penelusuran IDN Times di salah satu situs pencari properti menemukan sejumlah hotel dijual dengan harga miring. Salah satunya sebuah hotel di daerah Pademangan, Ancol, Jakarta Utara dijual dengan harga Rp50 miliar. Hotel ini memiliki luas tanah 5.775 meter persegi dan luas bangunan 6.036 meter persegi, terdiri dari 110 kamar lengkap dalam kondisi operasional.
Kemudian ada juga hotel di bilangan Grogol, Jakarta Barat yang dijual dengan harga Rp65 miliar. Hotel ini telah turun harga 18 persen setelah pada sebelumnya dibanderol dengan harga Rp80 miliar. Hotel ini memiliki luas tanah 1.156 meter persegi dan luas bangunan 4.188 meter persegi serta 96 unit kamar di dalamnya.
Lalu ada juga hotel enam lantai di kawasan Bandengan, Jakarta Utara yang dijual dengan harga Rp80 miliar. Hotel ini memiliki luas tanah 1.174 meter persegi dan luas bangunan 2.680 meter persegi. Hotel bintang dua ini masih beroperasi dengan 88 kamar di dalamnya.
1. Hampir seluruh hotel di Jakarta laporkan penurunan tingkat hunian

Maraknya penjualan hotel di Jakarta tidak lepas dari tingkat okupansi atau hunian yang terus menurun. Berdasarkan hasil survei terbaru Badan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Daerah Khusus Jakarta (BPD PHRI DK Jakarta) pada April 2025 terhadap anggotanya, ditemukan bahwa 96,7 persen hotel melaporkan terjadinya penurunan tingkat hunian.
Seiring dengan itu, banyak pelaku usaha terpaksa melakukan pengurangan tenaga kerja serta menerapkan berbagai strategi efisiensi operasional.
"Industri ini tengah menghadapi tekanan berat dari berbagai sisi. Tingkat hunian hotel mengalami penurunan, sedangkan biaya operasional meningkat tajam dan membebani kelangsungan usaha," ujar Ketua BPD PHRI DK Jakarta, Sutrisno Iwantono dalam keterangan tertulisnya, dikutip Kamis (29/5/2025).
2. Penurunan tingkat hunian disebabkan efisiensi anggaran pemerintahan

Survei BPD PHRI DK Jakarta juga menunjukkan, 66,7 persen responden menyebutkan penurunan tertinggi berasal dari segmen pasar pemerintahan. Hal tersebu sejalan dengan kebijakan pengetatan anggaran yang diterapkan oleh pemerintah.
Penurunan dari pasar pemerintah ini semakin memperburuk ketergantungan industri hotel terhadap wisatawan domestik. Hal ini terjadi karena kontribusi wisatawan mancanegara (wisman) terhadap kunjungan ke Jakarta masih tergolong sangat kecil.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sejak 2019 hingga 2023, rata-rata persentase kunjungan wisman hanya mencapai 1,98 persen per tahun jika dibandingkan dengan wisatawan domestik. Kondisi ini mencerminkan kurang efektifnya strategi promosi dan program pemerintah dalam mendatangkan turis mancanegara, khususnya ke Jakarta.
“Ketidakseimbangan struktur pasar menunjukkan perlunya pembenahan strategi promosi dan kebijakan pariwisata yang lebih efektif untuk menjangkau pasar internasional,” ujar Sutrisno.
3. Peningkatan biaya operasional

Tidak hanya dihadapkan pada berkurangnya pasar, pelaku usaha hotel juga harus menanggung peningkatan biaya operasional yang signifikan. Tarif air dari PDAM mengalami kenaikan hingga 71 persen dan harga gas melonjak 20 persen. Beban ini diperberat dengan kenaikan tahunan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang tercatat meningkat hingga 9 persen tahun ini.
"Dengan tekanan dari sisi pendapatan dan biaya yang tidak seimbang, banyak pelaku usaha mulai mengambil langkah-langkah antisipatif," kata Sutrisno.
Sebanyak 70 persen responden dalam survei BPD PHRI DK Jakarta menyatakan, jika kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya intervensi kebijakan yang mendukung sektor pariwisata dan perhotelan, mereka akan terpaksa melakukan pengurangan jumlah karyawan.
Responden memprediksi akan melakukan pengurangan karyawan sebanyak 10 persen-30 persen. Selain itu, 90 persen responden melakukan pengurangan daily worker dan 36,7 persenn responden akan melakukan pengurangan staf.