Ilustrasi Inflasi (IDN Times/Arief Rahmat)
Dilansir dari situs Kementerian Keuangan, Senin (10/7/2023), sanering adalah pemotongan nilai uang dalam kondisi perekonomian yang terpuruk. Namun harga barang tidak disesuaikan, sehingga berakibat turunnya daya beli masyarakat. Langkah ini dilakukan untuk menangani laju inflasi yang terus berlangsung hingga awal 1960-an.
Pemerintah memutuskan menurunkan jumlah uang beredar dengan cara memotong dua uang kertas yang memiliki nilai pecahan terbesar saat itu, yaitu Rp500 yang bergambar macan dan Rp1000 bergambar gajah pada 24 Agustus 1959. Nilai masing-masing diturunkan hingga tersisa 10 persen.
Uang Macan yang semula mempunyai nilai Rp500 berubah menjadi Rp50, sedangkan uang gajah yang semula Rp1.000 menjadi Rp100. Dan pemotongan nilai uang ini tidak terjadi dengan nominal-nominal yang lebih kecil.
Dampak kebijakan ini keesokan harinya, 25 Agustus 1959, pukul 06 waktu Jawa dikarenakan informasi ini belum tersebar merata ke seluruh lapisan masyarakat, menyebabkan terjadinya kekacauan di masyarakat. Kebijakan ini membuat masyarakat menyerbu toko-toko membelanjakan uang macan dan gajahnya. Bank-bank juga diserbu untuk menukarkan uang macan dan gajah dengan pecahan yang lebih kecil.
Kepanikan masyarakat ini terus terjadi sampai saat mulai diberlakukannya peraturan pemerintah tersebut tepat pukul 06.00. Masyarakat tidak mau memegang uang macan dan gajah. Mereka ramai-ramai membelanjakan atau menukarkan ke bank. Akibatnya, kekayaan rakyat yang dikumpulkan bertahun-tahun ludes dalam sekejap. Sementara, masalah ekonomi tak juga membaik. Demikian pula posisi rupiah terhadap mata uang asing semakin terpuruk.
Sejarah tersebut merupakan sanering jilid ke-2 yang dilakukan pada pemerintahan Orde Lama. Pada 13 Desember 1965, pemerintah juga melakukan kebijakan yang sama, yaitu menyunat tiga nol di belakang angka rupiah hingga membuat perekonomian Indonesia semakin kacau.
Harga barang-barang terus meroket, bahkan inflasi sempat menyentuh 594 persen. Puncaknya terjadi pada 1966, ketika inflasi mencapai 635,5 persen. Rakyat pun kian menderita karena pendapatan mereka yang hanya 80 dolar AS per tahun habis dimakan inflasi.
Sebelumnya juga terjadi kebijakan yang sama, yang dikenal dengan peristiwa ‘Gunting Syafruddin’, karena kebijakan moneter yang ditetapkan Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, Syafrudin Prawiranegara, untuk mengatasi krisis ekonomi. Kebijakan ini mulai berlaku pada 10 Maret 1950 pukul 20.00, dengan cara menggunting fisik uang kertas.
Saat itu, ada tiga jenis mata uang yang beredar di Indonesia. Ketiga mata uang tersebut adalah Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan mata uang yang digunakan ketika NICA (Belanda) berada di Indonesia pasca-kemerdekaan atau selama masa revolusi fisik.
Uang merah atau uang NICA dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran sah dengan nilai setengah dari nilai semula hingga 9 Agustus 1950 pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April 1950, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk.
Jika melebihi tanggal tersebut, bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara setengah dari nilai semula, dan akan dibayar 30 tahun kemudian, dengan bunga 3 persen setahun. Kebijakan itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI.