Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Fakta-Fakta Redenominasi Rupiah: Wacana 1 Dekade

ilustrasi uang rupiah baru (IDN Times/Tata Firza)
ilustrasi uang rupiah baru (IDN Times/Tata Firza)

Jakarta, IDN Times - Wacana redenominasi rupiah, alias memangkas tiga angka nol di belakang mata uang rupiah kembali dibahas.

Bank Indonesia (BI) menyatakan sudah siap sejak lama dalam mengimplementasikan perubahan Rp1.000 menjadi Rp1. Namun, masih banyak keputusan lain yang harus dipertimbangkan oleh pemangku kepentingan lainnya.

"Kami dari dulu sudah siap. Jadi redenominasi sudah kami siapkan dari dulu,” kata Perry dalam rapat dewan gubernur (RDG) BI, Kamis (22/6/2023).

Redenominasi telah menjadi wacana di tubuh pemerintah sejak lama. Berikut fakta-fakta mengenai redenominasi, atau mengubah Rp1.000 menjadi Rp1 yang tak kunjung terealisasi.

1. Digaungkan sejak 2013

ilustrasi uang (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi uang (IDN Times/Aditya Pratama)

Wacana redenominasi rupiah telah disuarakan pemerintah dan BI sejak 2013. Namun, kondisi perekonomian kala itu menyebabkan cita-cita itu harus tertunda.

Kemudian, rencana itu kembali disuarakan pemerintah dan BI pada 2017. Bahkan, kala itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia periode 2013-2018, Agus Martowardojo melaporkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Redenominasi Mata Uang langsung ke Presiden Joko "Jokowi" Widodo.

Sayangnya, RUU tersebut tak dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Sebab, pemerintah lebih mengutamakan revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Dikutip dari situs resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kamis (6/7/2023), wacana itu kembali digulirkan pada 2020.

Sri Mulyani telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 yang salah satunya menjelaskan tentang Rancangan Undang-undang tentang Redenominasi Rupiah.

Namun, hingga kini rencana tersebut belum terwujud, apalagi setelah dunia menghadapi pandemik COVID-19 yang turut menekan perekonomian Tanah Air.

2. Rupiah adalah pecahan mata uang terbesar ketiga di dunia

Ilustrasi uang. (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi uang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Menurut Permana dalam riset berjudul Prospects of Redenomination Implementation in Indonesia, pecahan mata uang rupiah saat ini merupakan pecahan mata uang terbesar ketiga di dunia setelah Zimbabwe dan Vietnam.

Untuk kawasan Asia Tenggara, pecahan Rp100.000 saat ini merupakan pecahan uang terbesar kedua setelah Dong Vietnam dengan denominasi 500.000.

Pecahan uang rupiah yang cukup besar menimbulkan permasalahan-permasalahan bagi masyarakat, khususnya dalam melakukan transaksi keuangan.

3. Tujuan redenominasi

Ilustrasi pelayanan publik. (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi pelayanan publik. (IDN Times/Aditya Pratama)

Redenominasi atau mengubah Rp1.000 menjadi Rp1 bertujuan menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam transaksi serta efektif dalam pencatatan pembukuan keuangan.

Redenominasi akan memudahkan proses penghitungan uang, karena tiga angka nol di belakangnya tak lagi digunakan. Dalam hitungan perbankan, penyederhanaan digit mata uang yang dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol pada rupiah akan menghemat biaya teknologi yang digunakan. Selain itu, bentuk penyederhanaan digit juga mempermudah membaca laporan keuangan dalam praktik akuntansi.

Selain itu, redenominasi bertujuan menyetarakan perekonomian Indonesia dengan negara-negara lain terutama di tingkat regional.

Mata uang rupiah terasa lebih bernilai seperti mata uang negara lain. Misalnya, sebelum redenominasi, 1 dolar AS saat ini adalah Rp15.075. Setelah redenominasi, maka 1 dolar AS menjadi hanya Rp15,07. Mengapa hal itu penting? Sebab, di mata internasional, praktik itu lebih ringkas, mudah dipahami, dan mencerminkan kesetaraan kredibilitas dengan negara maju lainnya di kawasan.

4. Redenominasi tidak mengurangi nilai mata uang

ilustrasi uang (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi uang (IDN Times/Aditya Pratama)

Redenominasi tidak mengurangi nilai mata uang, sehingga tidak mempengaruhi harga barang. Redenominasi hanya menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dalam bertransaksi.

Redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan nilai uang. Sanering pernah dilakukan di Indonesia pada pengujung 1950-an, tepatnya pada 25 Agustus 1959. Saat itu, uang pecahan Rp500 dan Rp1.000 diturunkan nilainya menjadi Rp50 dan Rp100. Dengan kata lain, nilai uang dipangkas hingga 90 persen.

Sanering yang biasa disebut dengan istilah 'penyehatan uang' dilakukan untuk mencegah inflasi semakin tinggi, mengendalikan harga, meningkatkan nilai mata uang, dan memungut keuntungan tersembunyi dari perdagangan.

5. Pertimbangan melakukan redenominasi

ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Aditya Pratama)

Untuk melakukan redenominasi, pemerintah dan BI perlu mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, kondisi perekonomian yang stabil dan pertumbuhan ekonomi yang kuat. Agar pelaksanaan redenominasi tidak memberikan dampak yang negatif bagi perekonomian Indonesia, maka perlu dilakukan pengamatan terhadap stabilitas fundamental ekonomi. Kesiapan suatu negara dalam melaksanakan redenominasi akan tercermin pada indikator makroekonominya.

Pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi intensif agar tak ada kebingungan saat masyarakat melakukan transaksi. Sosialisasi itu perlu dilakukan sedini mungkin, karena membutuhkan waktu.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Vadhia Lidyana
EditorVadhia Lidyana
Follow Us