ilustrasi rupiah melemah (IDN TImes/Aditya Pratama)
Sementara itu, bagi dunia usaha, volatilitas rupiah ini membebani karena mengerek biaya produksi. Apalagi, bagi industri yang masih bergantung pada bahan baku impor seperti manufaktur.
Akibatnya, pengusaha industri akan merogoh kocek lebih dalam hanya untuk belanja bahan baku saja yang notabene-nya dari impor sehingga pelaku usaha memerlukan rupiah stabil.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, level nilai tukar rupiah saat ini tidak kompetitif bagi pelaku usaha.
"Pelemahan rupiah sangat memberatkan pelaku usaha dan akan menciptakan kenaikan biaya overhead produksi bila dibiarkan terlalu lama, khususnya kalau terjadi lebih dari sebulan," ujarnya.
Di sisi lain, melemahnya rupiah terhadap dolar AS bisa menyebabkan imported inflation karena kenaikan harga energi, biaya bahan baku, dan logistik. Imported inflation merupakan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga barang impor. Inflasi ini dapat terjadi ketika negara pengimpor mengalami kenaikan biaya produksi barang yang mereka ekspor.
"Selain itu, di sisi konsumen pasti akan ada inflasi karena tidak semua pelaku usaha bisa menahan kenaikan overhead cost yang disebabkan oleh penggelembungan beban impor input produksi. Kami perkirakan dalam 1-3 bulan ke depan akan menambah beban inflasi harga pasar jadi kondisi ini akan berdampak negatif secara luas," tutur Shinta.
Ketidakpastian global dan pasar keuangan yang meningkat pun berlanjut hingga bulan berikutnya. Pada Februari 2024, rupiah tembus level Rp15.623 per dolar AS, dan saat itu Indonesia tengah menjalani pesta demokrasi yang ikut menjadi penyebab arah pergerakan rupiah melemah.
Meski begitu, pascapemilu presiden dan wakil presiden berakhir, nilai tukar rupiah pun bergerak menguat yang diimbangi oleh data eksternal, khususnya dari AS yang tidak lebih baik dibandingkan Januari 2024. Selain itu, penguatan ini didorong oleh melonjaknya ekspor komoditas serta intervensi yang dilakukan oleh BI untuk menjaga kestabilan nilai tukar.
Namun pada pertengahan Juni, rupiah kembali terpuruk. Pada 18 Juni 2024, rupiah nyaris menyentuh level Rp16.500 per dolar AS. Data Google Finance menunjukkan rupiah saat itu ambruk ke level Rp16.451,6 per dolar AS.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter (DPM) BI Edi Susianto mengatakan, melemahnya rupiah disebabkan oleh sentimen global yang kurang kondusif.
"Sehingga hampir semua mata uang Asia juga mengalami pelemahan, ditambah ada sentimen yang di-trigger oleh rumor terkait kebijakan fiskal ke depan," ujar Edi kepada IDN Times, Selasa (18/6).
Setelah itu, rupiah perlahan menguat. Namun pada 21 Juni, data Bloomberg menunjukkan, rupiah kembali melemah, mata uang Garuda dibuka terkoreksi ke level Rp16.471,5 per dolar AS, dan mengakhiri pekan ketiga Juni pada posisi Rp16.450 per dolar AS.
Rupiah bergerak fluktuatif, dan berhasil menguat ke level Rp15.000 per dolar AS. Namun menjelang akhir November 2024, rupiah kembali mendekati level Rp16.000 per dolar.
Pada awal Desember, rupiah sempat bertengger di posisi Rp15.945,5 per dolar AS, meski kemudian menguat ke kisaran Rp15.800. Mendekati pertengahan bulan, rupiah terus merosot. Pada 13 Desember, rupiah menyentuh level Rp16.008 per dolar AS.
Kemudian posisi rupiah terdepresiasi ke Rp16.313 per dolar AS, lalu perlahan menguat. Menjelang libur Natal, rupiah berakhir menguat tipis ke level Rp16.196 per dolar AS.