Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi paket Amazon Prime (pexels.com/Erik Mclean)
ilustrasi paket Amazon Prime (pexels.com/Erik Mclean)

Intinya sih...

  • FTC menuduh Amazon menyesatkan pelanggan dengan pop-up checkout dan program uji coba yang memaksa langganan.

  • Amazon tidak mengakui atau membantah tuduhan, ingin melangkah maju dalam kepatuhan hukum

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN TimesAmazon menyepakati pembayaran 2,5 miliar dolar AS (setara Rp41,8 triliun) kepada Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat (FTC). Penyelesaian ini dilakukan untuk mengakhiri tuduhan perusahaan menipu jutaan pelanggan agar berlangganan Amazon Prime dan mempersulit pembatalannya.

Kesepakatan itu diumumkan pada Kamis (25/9/2025) waktu setempat, dan menjadi kemenangan besar bagi FTC setelah persidangan baru saja dimulai di pengadilan federal Seattle. Penyelesaian mencakup denda sipil sebesar 1 miliar dolar AS (setara Rp16,7 triliun), denda terbesar dalam kasus pelanggaran aturan FTC.

Selain itu, Amazon juga akan mengembalikan dana 1,5 miliar dolar AS (setara Rp25,1 triliun) kepada sekitar 35 juta pelanggan yang dirugikan.

“Bukti menunjukkan Amazon menggunakan perangkap berlangganan canggih yang dirancang untuk memanipulasi konsumen agar mendaftar ke Prime, dan kemudian membuatnya sangat sulit bagi konsumen untuk mengakhiri langganan mereka,” kata Ketua FTC Andrew Ferguson, dikutip dari CNN, Jumat (26/9/2025).

Ia menyebut penyelesaian ini sebagai kemenangan monumental yang memastikan miliaran dolar AS kembali ke konsumen.

1. Gugatan FTC bongkar bukti manipulasi Amazon

ilustrasi sidang (pexels.com/Sora Shimazaki)

Gugatan yang diajukan FTC pada Juni 2023 di masa pemerintahan Joe Biden menuding Amazon secara sistematis menyesatkan pelanggan. Agensi itu menyoroti pop-up di halaman checkout yang terus mendorong konsumen untuk mendaftar Prime, sekaligus mengumpulkan data penagihan tanpa penjelasan yang jelas. Program uji coba satu bulan juga dipermasalahkan karena pelanggan otomatis terdaftar begitu masa uji coba berakhir.

Dilansir dari BBC, dokumen internal yang diajukan ke pengadilan memperlihatkan eksekutif Amazon menyadari praktik tersebut bisa dipertanyakan. Berdasarkan data FTC, sekitar 35 juta pelanggan di AS terdampak praktik ini antara Juni 2019 hingga Juni 2025. Mereka akan mendapat pengembalian hingga 51 dolar AS (setara Rp853 ribu), dengan dana otomatis bagi pengguna yang jarang memanfaatkan layanan Prime.

2. Amazon angkat bicara dan siapkan perubahan

ilustrasi gudang Amazon (unsplash.com/Andrian Sulyok)

Dilansir dari CNBC, Amazon menegaskan, penyelesaian ini tidak berarti mengakui atau membantah tuduhan. Perusahaan menyatakan, mereka sejak awal berusaha mematuhi hukum dan ingin melangkah maju.

“Kami bekerja sangat keras untuk membuatnya jelas dan sederhana bagi pelanggan untuk mendaftar atau membatalkan keanggotaan Prime mereka,” ujar juru bicara Amazon, Mark Blafkin.

Sebagai bagian dari perjanjian, Amazon kini dilarang menggunakan istilah yang menyesatkan dalam penawaran Prime. Proses pendaftaran harus dibuat transparan dengan persetujuan eksplisit pelanggan sebelum biaya dibebankan. Perusahaan juga wajib memberikan opsi yang mudah untuk berhenti berlangganan, tanpa tombol membingungkan seperti, “Tidak, saya tidak ingin pengiriman gratis” yang selama ini digunakan.

3. Dampak ekonomi dan kritik terhadap kesepakatan

ilustrasi gudang Amazon (unsplash.com/Andrian Sulyok)

Amazon Prime, yang diluncurkan pada 2005, menawarkan layanan pengiriman gratis, hiburan streaming, pengantaran bahan makanan, hingga promo eksklusif. Biayanya 14,99 dolar AS (setara Rp251 ribu) per bulan atau 139 dolar AS (setara Rp2,3 juta) per tahun di Amerika Serikat, serta 95 pound sterling (setara Rp2,1 juta) per tahun di Inggris. Hingga Maret 2025, Prime memiliki sekitar 197 juta pelanggan di AS dengan pendapatan langganan 44 miliar dolar AS (setara Rp736 triliun).

Penyelesaian 2,5 miliar dolar AS ini hanya setara 5,6 persen dari pendapatan Prime tahun lalu, sehingga analis menilai dampaknya kecil bagi dominasi Amazon. Namun, mantan Ketua FTC Lina Khan menyebut denda tersebut sebagai setetes air di ember bagi perusahaan dengan kapitalisasi pasar 2,4 triliun dolar AS (setara Rp40,2 kuadriliun).

Kritikus lain seperti Nidhi Hegde dari American Economic Liberties Project mendesak FTC agar mengaktifkan kembali aturan Click-to-Cancel untuk melindungi konsumen dari skema langganan yang menipu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team