Jakarta, IDN Times -- Pemerintah menargetkan penerimaan pajak pada 2024 sebesar Rp1.988,9 triliun. Target ini tumbuh 9,4 persen dibandingkan perkiraan realisasi 2023 yang mencapai Rp1.818,2 triliun.
“Penerimaan pajak tahun 2024 diharapkan tumbuh meningkat dibandingkan tahun 2023 sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan didukung oleh berbagai kebijakan pajak yang optimal,” kata Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo.
Berkaca pada tahun ini, penerimaan pajak untuk periode Januari-Agustus masih tumbuh positif, terutama didukung oleh kinerja kegiatan ekonomi yang baik. Realisasinya mencapai Rp1.246,97 triliun (72,58 persen dari target) atau tumbuh 6,4 persen.
Penopangnya adalah PPh nonmigas yang sebesar Rp708,23 triliun (81,07 persen) atau tumbuh 7,06 persen. Kemudian PPN berhasil dikumpulkan Rp477,58 triliun (64,28 persen) atau tumbuh 8,14 persen. Sementara, PBB & pajak lainnya terkontraksi akibat pergeseran pembayaran PBB migas, sedangkan PPh Migas mengalami kontraksi sebagai dampak moderasi harga minyak bumi.
Patut disadari, kinerja penerimaan melambat dibandingkan tahun sebelumnya terutama disebabkan oleh penurunan signifikan harga komoditas, penurunan nilai impor, dan tidak berulangnya kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Ke depannya, penerimaan pajak akan mengikuti fluktuasi variabel ekonomi makro, terutama harga komoditas, konsumsi dalam negeri, belanja pemerintah, aktivitas impor, dan variabel lainnya.
Maka dari itu, penerimaan pajak diperkirakan akan mencapai realisasi yang lebih besar dari target APBN 2023 yang sebesar Rp1.718 triliun. Untuk diketahui, hal ini disebabkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan spillover effect dari kenaikan harga komoditas tahun 2022. Dengan profit tahun 2022 dilaporkan pada SPT Tahunan yang disampaikan dan dibayarkan PPh terutangnya pada April 2023.
Namun demikian, pertumbuhan penerimaan pada akhir tahun (5,9 persen) diperkirakan lebih rendah dibandingkan realisasi pertumbuhan Januari s.d. Agustus (6,4 persen). Hal ini dikarenakan penurunan harga komoditas diperkirakan berlanjut dan perlambatan perdagangan global yang persisten. Hal ini akan menimbulkan tekanan pada PPh/PPN Impor dan PPN DN serta akan mendorong WP untuk melakukan penurunan angsuran PPh Badan.