Dahlan lalu mengatakan banyak perusahaan migas di AS, khususnya yang mengadopsi teknologi shale gas lesu. "Langsung bisa pingsan. Harga saham mereka di pasar modal bisa langsung terjungkal," katanya.
"Karena, untuk biaya produksi gas dari retakan bebatuan itu bisa setara US$45 per barel. Kalau harga minyak hanya US$30 per barel matilah mereka," ucap Dahlan.
Langkah Arab Saudi itu dinilai Dahlan sangat penuh perhitungan. Dengan biaya produksi minyak yang rendah, US$20 per barel, Arab Saudi masih mendapat keuntungan dengan menjual US$30 per barel.
Indonesia pun terkena dampaknya. Dengan biaya produksi minyak mentah sekitar US$40 per barel. "Kalau harga jualnya US$30 per barel, Anda pun bisa membuat corporate decision: tutup saja," kata Dahlan.
Begitu juga dengan Rusia yang tidak bisa memproduksi minyak mentah dengan US$30 per barel. "Ladang minyaknya di laut. Yang di darat pun pipanya harus selalu dipanasi agar tidak beku, agar bisa mengalir. Biaya memanasi pipa itu menambah dolar per barel," kata Dahlan.
"Dengan harga minyak US$30 per barel ini ada yang ikut sekarat: Green energy. Ibarat kaca dilempari batu serpihannya membuat luka di mana-mana," kata Dahlan mengakhiri.