Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi uang rupiah (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Ilustrasi uang rupiah (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Intinya sih...

  • Penyaluran kredit terbatas karena permintaan belum kuat.

  • Aktivitas dunia usaha masih tertahan meski likuiditas perbankan melimpah.

  • Daya beli masyarakat belum pulih sehingga enggan menambah kredit.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Penyaluran kredit perbankan masih tumbuh terbatas. Padahal pemerintah telah menggelontorkan stimulus likuiditas sekitar Rp200 triliun ke perbankan dan stimulus ekonomi lainnya untuk mendongkrak sisi permintaan.

Hingga kini, permintaan kredit belum menunjukkan pemulihan yang signifikan. Penyebabnya, kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan pembiayaan dan pelaku usaha yang masih menahan ekspansi.

Data menunjukkan, kredit perbankan pada September 2025 tumbuh 7,70 persen secara tahunan (year on year/yoy). Namun, pertumbuhan tersebut melambat pada Oktober 2025 menjadi 7,36 persen yoy, sebelum kembali meningkat tipis pada November 2025 ke level 7,74 persen yoy. Pergerakan ini mencerminkan bahwa meski likuiditas perbankan relatif longgar, dorongan permintaan kredit dari sektor riil masih belum kuat.

1. Menurut BI, masalahnya di sisi permintaan

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo (youtube.com/DPDRIChannel)

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan permintaan kredit perbankan masih terindikasi belum kuat. Kondisi ini dipengaruhi oleh sikap wait and see pelaku usaha serta kecenderungan korporasi yang lebih memilih mengoptimalkan pembiayaan internal.

“Permintaan kredit terindikasi belum kuat, dipengaruhi oleh perilaku wait and see pelaku usaha, optimalisasi pembiayaan internal oleh korporasi, serta penurunan suku bunga kredit yang masih lambat,” kata Perry dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan BI Desember 2025, Rabu (17/12/2025).

Di sisi lain, pemerintah bersama Bank Indonesia menyiapkan bauran kebijakan untuk mempercepat penyaluran kredit perbankan yang hingga kini masih tumbuh terbatas. Upaya tersebut dilakukan melalui penempatan dana pemerintah sekitar Rp200 triliun di perbankan, yang dikombinasikan dengan kelanjutan stimulus moneter. Dengan langkah ini, otoritas berharap intermediasi perbankan ke sektor riil dapat semakin menguat.

Penempatan dana tersebut diarahkan untuk menjaga likuiditas perbankan sekaligus memperluas ruang pembiayaan ke sektor-sektor produktif. Kebijakan ini melengkapi langkah pelonggaran moneter BI, yang sebelumnya telah menurunkan suku bunga acuan secara bertahap.

2. Aktivitas dunia usaha masih tertahan

(ilustrasi bisnis) pexels.com/rawpixel.com

Meski likuiditas perbankan melimpah, penguatan intermediasi kredit belum sepenuhnya berjalan. Bank Indonesia (BI) menilai pemulihan penyaluran kredit masih membutuhkan waktu. Hal ini terjadi seiring aktivitas dunia usaha yang belum pulih merata serta transmisi penurunan suku bunga yang belum sepenuhnya dirasakan sektor riil.

Salah satu indikasinya terlihat dari tingginya fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan), yang mencapai Rp2.509,4 triliun atau sekitar 23,18 persen dari total plafon kredit. Angka ini menunjukkan adanya jarak antara kapasitas perbankan dalam menyalurkan kredit dan realisasi pencairan oleh debitur.

Dari sisi likuiditas, perbankan justru berada dalam kondisi longgar. Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tercatat sebesar 29,67 persen, ditopang pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang mencapai 12,03 persen secara tahunan (year on year/yoy). Likuiditas juga diperkuat oleh ekspansi likuiditas moneter BI, pelonggaran Kredit Likuiditas Moneter (KLM), serta penempatan dana pemerintah di sejumlah bank besar.

Menurut Perry, minat perbankan untuk menyalurkan kredit pada dasarnya masih terjaga. Hal ini tercermin dari persyaratan pemberian kredit (lending requirement) yang semakin longgar. Namun, pelonggaran tersebut tidak merata di seluruh segmen.

“Persyaratan pemberian kredit umumnya semakin longgar, kecuali pada segmen kredit konsumsi dan UMKM yang mengalami peningkatan risiko kredit,” ujar Perry.

Dampaknya, kredit UMKM justru terkontraksi 0,64 persen yoy pada November 2025. Di saat yang sama, BI juga menyoroti lambatnya penurunan suku bunga kredit perbankan, yang menandakan transmisi pelonggaran kebijakan moneter belum berjalan optimal.

Padahal, sepanjang 2025 BI telah memangkas suku bunga acuan hingga 125 basis poin (bps), ditambah penempatan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) pemerintah di perbankan. Namun, dampak penurunan tersebut baru terasa signifikan pada suku bunga dana. Suku bunga deposito tenor satu bulan, misalnya, turun 67 bps dari 4,81% pada awal 2025 menjadi 4,14 persen pada November 2025, sementara penurunan suku bunga kredit masih tertinggal.

3. Daya beli belum pulih sebabkan masyarakat enggan tambah kredit

Ilustrasi kredit motor (muf.co.id)

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai pertumbuhan kredit di kisaran 7,74 persen secara tahunan (year on year/yoy) mencerminkan intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya menguat. Padahal, dari sisi fundamental, ketahanan perbankan masih solid dan kemampuan bayar korporasi relatif terjaga.

Tekanan justru datang dari sisi permintaan. Bank Indonesia mencatat peningkatan kredit yang telah disetujui namun belum dicairkan, menandakan kehati-hatian debitur masih tinggi. Kondisi ini juga mencerminkan permintaan pembiayaan rumah tangga yang tertahan, sejalan dengan daya beli yang belum pulih secara merata.

“Penyebabnya bukan satu faktor, melainkan kombinasi antara permintaan yang masih tertahan dan penyaluran kredit yang belum sepenuhnya mengalir,” ujar Josua.

4. Muncul persaingan perebutan dana deposan besar

Infografis laju kredit perbankan masih melambat. (IDN Times/Mardya Shakti)

Dari sisi penawaran, Josua menyoroti ketatnya persaingan memperebutkan dana deposan besar yang membuat suku bunga simpanan special rate tetap tinggi. Situasi ini membatasi penurunan biaya dana perbankan, sehingga ruang penurunan suku bunga kredit menjadi sempit. Ketika suku bunga kredit tidak turun dengan cepat, insentif bagi dunia usaha untuk menambah pinjaman pun ikut melemah.

Sejalan dengan itu, BI juga menilai transmisi penurunan suku bunga acuan ke suku bunga kredit masih terbatas. Karena itu, Josua menekankan perlunya penguatan insentif agar suku bunga kredit dapat turun lebih dalam dan mendorong pemulihan permintaan pembiayaan.

“Dorongan kredit tidak cukup hanya dari sisi likuiditas. Dibutuhkan langkah bersama, mulai dari meredakan praktik suku bunga simpanan special rate, memperkuat optimisme terhadap prospek ekonomi, hingga mempercepat belanja pemerintah untuk mendorong konsumsi dan investasi di sektor riil," jelasnya.

5. Banyak indikator cerminkan sikap hati-hati dari dunia usaha

Infografis daftar Bank yang dapat suntikan Rp 200 Triliun. (IDN Time/Mohamad Rakan)

Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyebut bahwa korporasi memilih bersikap hati-hati akibat meningkatnya ketidakpastian ekonomi. Kondisi ini mendorong banyak perusahaan menunda ekspansi. Hal tersebut sejalan dengan data Indeks PMI manufaktur Indonesia yang beberapa kali berturut-turut masuk zona non-ekspansif, menandakan produsen khawatir barangnya tidak akan terserap pasar.

“Perusahaan mana yang mau ekspansi ketika ketidakpastian ekonomi tinggi? Tentu tidak ada yang mau,” ujar Huda.

Selain itu, ekspektasi pelaku usaha terhadap penurunan suku bunga acuan belum sepenuhnya tercermin dalam suku bunga kredit efektif. Jarak waktu antara kebijakan moneter dan penurunan suku bunga perbankan membuat pengusaha memilih bersikap wait and see sebelum menambah pembiayaan.

Faktor politik juga menjadi pertimbangan. Kondisi politik domestik yang tidak stabil, termasuk isu penghapusan pilkada langsung, menambah ketidakpastian bagi dunia usaha. Gabungan ekonomi yang lesu dan gejolak politik diperkirakan akan menahan pertumbuhan kredit, karena perusahaan enggan melakukan ekspansi dalam situasi yang tidak menentu.

Dengan demikian, rendahnya pertumbuhan kredit bukan disebabkan oleh likuiditas yang terbatas, melainkan oleh lemahnya permintaan. Masalah ini sudah terlihat sepanjang setahun terakhir, ketika perekonomian melambat dan daya beli melemah, sehingga masyarakat cenderung berpikir berkali-kali sebelum mengambil pinjaman. Tingginya angka undisbursed loans menjadi tanda nyata lemahnya permintaan kredit.

Editorial Team