Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Indef Ungkap Dua Faktor Biang Kerok Kredit Lesu

ilustrasi cadangan devisa (unsplash.com/ Viacheslav Bublyk)
ilustrasi cadangan devisa (unsplash.com/ Viacheslav Bublyk)
Intinya sih...
  • Godaan cuan dari imbal hasil surat utang pemerintah
  • Perlu solusi atasi masalah mendasar dari sektor riil
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, mengaku heran penyaluran kredit hingga akhir 2025 masih mengalami perlambatan, padahal suku bunga acuan Bank Indonesia relatif stabil dibandingkan tahun lalu.

Setelah ditelusuri, Eko menemukan dua faktor utama yang membuat pertumbuhan kredit tetap lambat, yaitu hambatan di sektor riil dan godaan keuntungan dari surat utang pemerintah. Berdasarkan data OJK per November 2025, kredit perbankan hanya tumbuh 7,74 persen (yoy).

“Masalah sektor riil sudah lama dialami Indonesia, bukan hanya tahun ini. Regulasi yang kompleks, praktik premanisme, dan infrastruktur yang belum memadai menjadi hambatan utama,” ujar Eko dalam diskusi Catatan Akhir Tahun Indef, dikutip Rabu (31/12/2025).

1. Ada godaan cuan dari imbal hasil surat utang pemerintah

Ilustrasi Obligasi/Surat Berharga (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi Obligasi/Surat Berharga (IDN Times/Aditya Pratama)

Selain itu, Eko menyoroti “godaan cuan” dari surat utang pemerintah yang imbal hasil atau yield-nya saat ini cukup tinggi, sekitar 6–7 persen. Tak hanya itu, ada juga SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia) yang bersifat jangka menengah dan digunakan untuk menstabilkan perekonomian.

“Dengan imbal hasil seperti ini, bank lebih tertarik menempatkan dana di instrumen tersebut dibanding menyalurkan kredit ke sektor riil yang risikonya masih besar. Bagaimana kredit mau tumbuh jika terus digoda oleh pemerintah sendiri? Dari sisi fiskal, imbal hasil surat utang sangat menggiurkan jika dibandingkan bunga deposito. BI juga mengeluarkan instrumen SRBI yang lebih menguntungkan dibanding menyalurkan kredit ke sektor riil,” kata dia.

2. Perlu solusi atasi masalah mendasar dari sektor rill

Ilustrasi Obligasi/Surat Berharga. (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi Obligasi/Surat Berharga. (IDN Times/Aditya Pratama)

Menurut Eko, fokus pemerintah dan Bank Indonesia selama ini masih banyak pada kebijakan moneter dan fiskal, misalnya melalui belanja negara atau stimulus Rp200 triliun untuk mendorong kredit.

“Kalau masalah mendasar di sektor riil tidak diatasi, pertumbuhan kredit tidak otomatis akan membaik, meskipun dana digelontorkan dalam jumlah besar,” kata dia.

3. Penyaluran kredit di dalam negeri belum optimal

Ilustrasi obligasi (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi obligasi (IDN Times/Aditya Pratama)

Selain itu, Eko menilai ada ketidaksesuaian antara target pertumbuhan ekonomi dan target kredit. Tahun depan, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 6 persen, tetapi pertumbuhan kredit diperkirakan hanya 8–12 persen.

Apalagi, data Bank Indonesia (BI) menunjukkan plafon kredit perbankan yang belum disalurkan atau undisbursed loan per Oktober 2025 mencapai Rp2.450,7 triliun, setara sekitar 22,97 persen dari total kapasitas kredit yang tersedia. Angka ini naik dibanding posisi bulan sebelumnya sebesar Rp2.374,8 triliun atau 22,54 persen.

Laporan ini sekaligus mencerminkan bahwa penyaluran kredit hingga saat ini belum optimal, meski pemerintah tengah gencar mendorong pertumbuhan kredit melalui penempatan dana di perbankan.

“Seharusnya ada sinkronisasi antara pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi, agar target bisa tercapai,” kata Eko.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us

Latest in Business

See More

Rupiah Menguat Tajam di Penutupan 2025

31 Des 2025, 16:01 WIBBusiness