Ilustrasi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) milik PT. PLN (dok. PLN)
Lebih lanjut, Marwan mengatakan skema power wheeling tidak tepat diterapkan saat Indonesia sedang kelebihan pasokan (over supply) listrik.
"Faktanya sarana itu (transmisi) dibangun dalam rangka menyalurkan listrik oleh PLN. Saat ini pasokan listrik PLN sangat berlebih, over supply di Jawa itu sekitar 50 sampai 60 persen dan ini akan berlangsung mungkin 3 atau 4 tahun ke depan. Kemudian di Sumatra juga sekitar itu 40 sampai 50 persen," tutur dia.
Selain itu, pemanfaatan jaringan PLN oleh pembangkit listrik swasta melalui skema power wheeling berpotensi membuat harga listrik lebih mahal. Dia mengatakan, pemerintah pun saat ini belum jelas menetapkan formula untuk menghitung tarif listrik EBT.
"Pemerintah sendiri belum jelas, jangan sampai nanti dengan tarif transmisi numpang lewat infrastruktur PLN, kemudian tarif itu tidak jelas, tidak ada dasar perhitungan yang ilmiah dan objektif," tutur Marwan.
Marwan mengatakan, apabila swasta tetap membangun pembangkit berbasis EBT bisa menambah beban keuangan PLN, melihat kondisi berlebih pasokan listrik yang terjadi saat ini. Sebab, ada skema take or pay yang memaksa PLN membayar listrik yang tidak terpakai.
Kondisi tersebut dinilai akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik, sehingga untuk meringankan beban tersebut berujung pada kenaikan tarif listrik atau menambah beban APBN.
"Nah ini masuk ke dalam biaya operasi PLN dengan masuknya biaya menjadi biaya operasi maka biaya pokok penyediaan listrik, itu akan naik kalau BPP-nya naik, tarif listrik juga naik seperti itu secara umum gambarannya," ucapnya.
Dia pun meminta DPR ataupun pemerintah untuk tidak mengembalikan skema power wheeling dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBT.