Jakarta, IDN Times - Tingg! Dua buah lampu besar menyala, suasana yang tadinya gelap gulita seketika berubah jadi terang benderang. Kini terlihat ada bangku dan meja kayu ala kafe di atas dermaga kecil, yang dibangun di pinggir teluk yang memisahkan Pulau Weh dan Pulau Rubiah, Sabang, Provinsi Aceh.
Sinar dari 2 lampu besar dan beberapa lampu kecil yang dipasang di pagar kayu dermaga Teluk Pulau Weh, membuat suasana menjadi hangat dan romantis. Tampak air laut yang bening dan tenang berkilauan diterpa cahaya lampu. Di kejauhan, terlihat lampu-lampu perahu nelayan yang tengah mencari ikan pada malam itu, berderet seolah membentuk pagar cahaya.
Listrik memang menjadi bagian penting dari kehidupan di pinggiran Pulau Weh, pulau terluar di ujung barat Indonesia itu. Terutama bagi masyarakat yang menggantungkan hidup dari mengelola tempat wisata. Bagaimana tidak, tempat ini masih dikelilingi hutan dan jauh dari permukiman penduduk. Sehingga ketika malam tiba sekitar pukul 19.00 WIB, suasana akan menjadi gelap gulita. Namun begitu listrik menyala, keindahan malam Teluk Pulau Weh mampu menghipnotis pengunjung.
Seorang pengelola resort tempat saya menginap, bernama Nurul, mengaku bersyukur listrik di tempatnya jarang mati, meskipun resortnya benar-benar berada di tempat terpencil dan bahkan jauh di pelosok pulau terluar Indonesia.
"Alhamdulillah di sini gak pernah mati listrik, ya paling kalau pas lagi hujan angin, petir, tapi itu juga sebentar terus nyala lagi," ujar Nurul kepada IDN Times, Selasa 20 Desember 2022.
Nurul yang merupakan perantau dari Bogor, bersama suaminya orang asli Aceh, membangun usaha penginapannya secara bertahap, dan sangat bergantung pada aliran listrik PLN. Kepada IDN Times dia bercerita, awalnya membangun satu kamar, kemudian bertambah dua kamar, hingga kini memiliki beberapa kamar tempat menginap para pelancong.
Ketika saya menemuinya, tampak beberapa kamar masih dalam proses pembangunan. Dengan penerangan listrik pada malam hari, Nurul dan keluarganya masih bisa tetap bekerja melayani kebutuhan tamu-tamu yang menginap. Tamu-tamu pun tampak nyaman dengan tersedianya berbagai alat yang terhubung ke listrik seperti dispenser untuk air panas, AC, dan tentunya lampu-lampu yang menerangi jalan kecil hingga ke atas dermaga.
Nurul bukan satu-satunya masyarakat di Pulau Weh, Kota Sabang, Aceh yang menggantungkan usahanya pada listrik PLN. Heru Febriansyah, seorang pemuda Sabang yang berusia 25 tahun, juga menggantungkan usaha dari listrik PLN.
Heru saat ini tengah merintis usaha membuat lampu hias dari sisa-sisa pipa paralon. Bermula dari melihat sisa-sisa paralon yang berserakan di rumah temannya yang tengah membangun rumah, Heru bersama 4 orang kawannya berpikir bagaimana memanfaatkan sampah paralon itu menjadi barang berharga, sehingga tidak terbuang percuma begitu saja.
Bermodal punya bakat seni, pada September 2022 lalu, Heru dan keempat temannya pun kemudian sepakat untuk membuat lampu hias dari sisa pipa paralon. Mereka membuat lampu hias secara otodidak, hanya belajar dari beberapa referensi di media sosial.
"Nyari-nyari referensi dari media-media lain, kemudian terbersitlah keinginan untuk membuat lampu dengan logo yang identik Aceh, terutama Sabang," ujar Heru saat ditemui IDN Times di sebuah pameran kecil di kantor Camat Sukajaya, Kota Sabang, Selasa (20/12/2022).
Meski baru 3 bulan memulai usaha, Heru dan 4 kawannya telah berhasil membuat 50 lampu hias. Lampu dibuat dalam beberapa jenis, ada lampu gantung, lampu yang bisa ditempel di dinding, dan lampu duduk atau lampu yang bisa diletakkan di atas meja. Harganya bervariasi, dari Rp100.000 sampai Rp200.000, dengan sebagian besar bermotif logo-logo Aceh dan Sabang, sebagai ciri khas.
Heru mengungkapkan, untuk pembuatan lampu hias selain bahan baku pipa paralon, juga membutuhkan alat utama yakni mini grinder dan tentunya listrik. Mini grinder berfungsi untuk membuat ukiran di pipa paralon sesuai desain yang sudah disiapkan. Alat ini harus dihubungkan ke listrik agar dapat berfungsi. Tanpa listrik, mini grinder tersebut tidak akan bisa dipakai.
"Butuh banget listrik karena kita pakai alat-alat seperti grinder. Yang paling ribet yang banyak ukirannya, itu tidak bisa manual harus menggunakan grinder listrik," ujarnya.
Beruntung, meski tinggal di Kota Sabang yang berdekatan dengan Titik 0 Kilometer Indonesia, yang terbilang sangat jauh dari Ibu Kota Provinsi Banda Aceh, aliran listrik PLN selalu lancar, dan tak menghambat usaha kecil yang baru dirintis Heru dan teman-temannya.
"Sejauh ini listrik aman, alhamdulillah. Tanpa listrik susah bagi kami untuk membuat detail-detail ukiran yang lebih kecil. Kan gak bisa juga pakai gergaji kecil, gak muat juga," kata Heru.
Menurut dia, bisa saja pembuatannya tanpa listrik, tapi akan ribet dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Sementara dengan menggunakan listrik, satu orang bisa menghasilkan 1 produk per hari.
Saat ini, lampu hias buatan Heru baru dipasarkan di sekitar Sabang. Tapi, Heru sudah mulai menjangkau pasar yang lebih luas dengan memasarkan produknya di media sosial seperti Instagram, di akun Bina_Bestari_Sabang.