Potret warga miskin di Kota Mataram. (IDN Times/Muhammad Nasir)
Bank Dunia memiliki tiga pendekatan atau standar garis kemiskinan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global dan membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara, yaitu international poverty line untuk menghitung tingkat kemiskinan. Berdasarkan PPP 2017, menetapkan batas kemiskinan ekstrem sebesar 2,15 dolar AS per kapita per hari; 3,65 dolar AS per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income); dan 6,85 dolar AS per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income).
Ketiga garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam dolar AS PPP, yaitu metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Nilai dolar yang digunakan bukan kurs nilai tukar yang berlaku saat ini, melainkan paritas daya beli. Satu dolar PPP pada 2024 setara Rp5.993,03.
Namun Bank Dunia menggunakan standar garis kemiskinan internasional yang diperbarui per Juni 2025. Dalam dokumen “June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP)”, lembaga itu mengadopsi PPP 2021, menggantikan PPP 2017. Perubahan tersebut mengacu pada data terbaru dari International Comparison Program yang dirilis Mei 2024.
Sebagai akibatnya, garis kemiskinan ekstrem dinaikkan dari 2,15 dolar AS menjadi 3 dolar AS per orang per hari. Untuk negara-negara berpendapatan menengah bawah, garis kemiskinan naik dari 3,65 dolar AS menjadi 4,2 dolar AS. Untuk negara berpendapatan menengah atas, kategori yang mencakup Indonesia, garis kemiskinan naik dari 6,85 dolar AS menjadi 8,3 dolar AS per hari.
Sementara Indonesia masih mengacu pada PPP 2017 sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Kendati demikian, untuk penghitungan kemiskinan ekstrem, BPS telah menerapkan sesuai standar Bank Dunia dengan menggunakan spatial deflator, menggantikan pendekatan berbasis Indeks Harga Konsumen (CPI).
Spatial deflator digunakan untuk mengoreksi perbedaan harga antarwilayah dalam satu negara, hingga ke tingkat kabupaten dan kota. Metode ini dinilai lebih mencerminkan realitas harga yang dihadapi masyarakat miskin di berbagai daerah.
Di samping itu, BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.
Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. Komponen nonmakanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.
Garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran maupun pola konsumsi masyarakat. Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu lantaran pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata, umumnya terjadi secara kolektif.
Oleh karena itu, garis kemiskinan yang dihitung BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Penghitungan serta rilis angka garis kemiskinan BPS dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan membedakan antara perkotaan dan perdesaan.