ilustrasi beasiswa (IDN Times/Aditya Pratama)
Di sisi lain, alumni LPDP dari University of Abeerden, Willy mengatakan, tidak selamanya tidak kembali ke Indonesia merupakan hal yang buruk. Menurut dia, ada perbedaan antara awardee yang enggan kembali ke Indonesia dengan awardee yang tidak pulang.
Namun, Willy tetap menyayangkan para penerima beasiswa LPDP yang enggan pulang ke Tanah Air setelah lulus.
"Gak pulang itu belum tentu enggan. Itu dua hal berbeda. Gak pulang itu faktornya banyak. Kalau saya lihatnya untuk alasan-alasan tertentu menurut saya gak pulang itu good thing. Misalnya dia diterima di PBB, kenapa nggak gitu lho? Toh dia bisa berkontribusi. Konteksnya sangat disayangkan kalau dia enggan, tapi kalau dia tidak pulang untuk sesuatu yang manfaatnya lebih banyak, why not?" kata dia saat dihubungi IDN Times, Rabu (10/8/2022).
Oleh sebab itu, publik atau masyarakat tidak bisa mengeneralisir para awardee yang belum atau tidak kembali ke Indonesia setelah mereka lulus.
"Buat saya itu semua case by case, gak bisa pukul rata. Kita harus lihat bigger story dia gak pulang itu kenapa, dan itu yang saya mau tegaskan tidak pulang itu tidak sama dengan enggan untuk pulang," ucap Willy.
LPDP, sambung Willy, mesti memiliki skema untuk itu. Tak heran jika kemudian dia menyinggung komunikasi dua arah yang baik antara awardee dan juga pihak LPDP.
LPDP sendiri biasanya mengirimkan email atau surat kepada para awardee-nya untuk memberitahukan perihal kepulangan mereka ke Indonesia. Email atau surat tersebut semestinya bisa jadi jalur komunikasi yang baik antara awardee dan juga pihak LPDP.
"Dari situ harusnya mereka nerima feedback, gak benar juga kalau awardee-nya itu gak ngasih feedback. Gak bisa kita salahin juga ketika LPDP mengambil tindakan-tindakan lain, misalkan mereka kerja sama dengan kedutaan atau bahkan imigrasi dan itu jadi bahaya kan buat awardee. Di sini menurut saya harus ada trust di antara awardee dan LPDP dan komunikasi dua arah itu harus ada," papar Willy.
Senada dengan Willy, awardee LPDP University of Glasgow, Iqbal mengatakan, para penerima beasiswa dari LPDP yang memutuskan bekerja di luar negeri tetap bisa berkontribusi untuk Indonesia.
"Semua tergantung tujuan orang dan kondisinya seperti apa. Sebenarnya kalau diaspora Indonesia kerja profesional strategis di luar negeri itu justru menguntungkan negara kok," kata dia.
Kendati begitu, Iqbal yang mempelajari Neuroscience di Skotlandia itu bertekad untuk kembali ke Indonesia setelah lulus nanti. Sebelum itu, dia masih harus banyak belajar agar tema studinya tersebut tidak sia-sia ketika diaplikasikan di Tanah Air.
"Aku belajar Neuroscience di sini. Di Indonesia disiplin ilmu itu masih asing dan gak semua RS punya FMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging) misalnya dan environment-nya lebih mendukung di sini, tapi tujuanku justru pengen membawa topik Neuroscience itu gak diabaikan di Indonesia," ujarnya.