ilustrasi ekspor-impor (IDN Times/Aditya Pratama)
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, jeda 90 hari sebaiknya dimanfaatkan untuk mendorong peningkatan ekspor nasional ke pasar Amerika Serikat.
Saat ini, pangsa ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam baru menyentuh angka 10,5 persen dari total ekspor nonmigas. Meski begitu, efek domino dari kebijakan ini bisa cukup signifikan terhadap performa ekspor Indonesia maupun negara lain.
“Pemerintah perlu mempercepat peningkatan volume ekspor ke AS, khususnya untuk produk pakaian jadi, alas kaki, serta produk olahan nikel dan tembaga,” ujar Bhima saat dihubungi IDN Times, Kamis (10/4/2025).
Ia menjelaskan, sepanjang tahun lalu, ekspor pakaian jadi ke Amerika tercatat menyumbang 61,4 persen dari total ekspor kategori tersebut, sementara alas kaki mencapai 33,8 persen.
Jika ke depan tarif impor kembali diberlakukan dengan nilai yang lebih tinggi, dikhawatirkan akan berdampak pada penurunan jumlah pesanan ke pabrik-pabrik di Indonesia.
Bhima meminta pemerintah melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat terkait besaran tarif impor untuk jangka panjang, tidak hanya bersifat sementara. Hal ini bertujuan menciptakan kepastian pasar ekspor nasional.
Inisiatif ini juga dapat menjadi bagian dari strategi memperkuat hubungan ekonomi bilateral dan memastikan keberlanjutan ekspor produk unggulan Indonesia.
"Negosiasi perjanjian jangka panjang dengan AS penting, agar ada kepastian setidaknya dalam lima tahun ke depan," ujar Bhima.
Untuk memperkuat posisi tawar dalam negosiasi, pemerintah dinilai perlu menempatkan duta besar Republik Indonesia di Washington yang memiliki kapasitas kuat dalam bidang geopolitik, negosiasi bilateral, dan memahami arah kebijakan tim ekonomi Presiden Trump.