Ilustrasi Fintech. (IDN Times/Aditya Pratama)
Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) periode 2019-2023, Sunu Widyatmoko menegaskan, batas bunga maksimum yang pertama kali diterbitkan dalam Code of Conduct 2018 dan sekarang sudah dicabut serta tidak berlaku lagi, tidak pernah dimaksudkan untuk menyeragamkan harga antarplatform, melainkan sebagai upaya mendorong penurunan bunga yang saat itu sangat tinggi sekaligus membedakan layanan pinjaman legal (pindar) dari praktik pinjol ilegal yang tidak diawasi.
“Waktu itu, bunga pinjaman daring bisa mencapai di atas 1 persen per hari, bahkan ada yang 2-3 kali lipat. Batas bunga maksimum justru ditujukan agar platform legal tidak ikut-ikutan mengenakan bunga mencekik. Ini bagian dari perlindungan konsumen,” kata Sunu dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Rabu (14/5).
Sekretaris Jenderal AFPI, Ronald Andi Kasim mengatakan, bunga yang ditetapkan adalah batas atas, bukan harga tetap. Pada akhirnya, masing-masing platform menetapkan sendiri bunga yang dikenakan kepada peminjam atau borrower.
Di sisi lain, data Satgas Waspada Investasi (SWI) menunjukkan data antara 2018 hingga 2021, lebih dari 3.600 pinjol ilegal beroperasi tanpa izin dan kerap mengenakan bunga sangat tinggi, tanpa perlindungan bagi peminjam.
“Batas bunga maksimum yang kami buat adalah batas atas, bukan harga tetap. Kenyataannya, ada platform yang menetapkan bunga di bawah batas bunga maksimum, seperti 0,6 persen, 0,5 persen, bahkan 0,4 persen per hari,” ucap Ronald.
Ronald menuturkan, bunga ditentukan secara individual oleh masing-masing platform berdasarkan risiko, jenis pinjaman (Multiguna, Produktif, atau Syariah), serta kesepakatan antara pemberi pinjaman (lender) dan peminjam (borrower). Tidak ada paksaan harga seragam dalam praktik industri.
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan memulai Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan dugaan pelanggaran kartel suku bunga di industri fintech peer to peer (P2P) lending alias pinjaman online (pinjol).
Adapun pihak yang terlapor ialah 97 perusahaan yang tergabung dalam AFPI. Perusahaan-perusahaan itu diduga membuat perjanjian penetapan suku bunga yang tidak independen, yakni sebesar 0,8 persen, yang kemudian turun menjadi 0,4 persen pada 2021.