Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Edhy Prabowo saat melakukan Kunjungan Kerja ke Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal. IDN Times/ Muchammad
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, memiliki argumen yang berbeda. Dia melihat aturan ini sebagai akal-akalan Edhy untuk menguntungkan kolega politiknya.
“Gak bisa Edhy bilang kalau ada tiga (perusahaan) temannya yang (mendapat izin ekspor benur) sebagai kebetulan. Gak ada kebetulan dalam mengeluarkan kebijakan. Permen ini adalah putaran kolusi yang ujungnya adalah kepentingan politik,” terang Susan kepada IDN Times.
Ada tiga hal yang melandasi Susan sebelum tiba pada kesimpulan bahwa Permen 12/2020 tidak berpihak kepada rakyat. Pertama, lemahnya pengawasan. Dalam Permen tersebut, dijelaskan bahwa pengawasan oleh DKP bersama kepolisian dan kejaksaan dilakukan penangkapan benih hingga pelepasliaran. Artinya, pihak pengawas menghitung dengan detail jumlah dan berat lobster yang ditangkap, jumlah dikembalikan, dan lokasi pelepasliarannya.
Secara harfiah, aturannya terkesan sangat tegas. Namun, Susan pesimis pengawasan seperti itu bisa dilakukan secara optimal.
“Ada berapa sih orang DKP di daerah? Saya baru-baru ini ke Jerowaru, di sana hanya ada dua orang penyuluh (DKP), padahal di sana ada 50 pembudi daya yang megang lebih dari 70 keramba. Bagaimana mekanisme kontrolnya? Izin dikeluarkan oleh KKP bukan DKP, nah orang KKP-nya gimana mau ngecek?” papar dia.
Selain itu, dia juga mengkritisi lemahnya pengawasan pada proses verifikasi perizinan nelayan tangkap. Laporan KIARA dari Pulau Sangiang, ternyata masyarakat di daerah tersebut didatangi oleh perusahaan besar untuk dimingi-imingi menjadi nelayan lobster.
Susan memprediksi kejadian seperti ini akan terulang di banyak tempat. Para pengusaha akan mengambil jalan pintas supaya mendapat kuota ekspor, yaitu dengan mengumpulkan data atau KTP nelayan untuk disetor kepada KKP, seolah-olah mereka adalah nelayaan binaan. Tidak menutup kemungkinan kejadian seperti ini akan menimbulkan konflik horizontal karena nelayan yang sudah lama melaut justru tidak mendapat kuota izin tangkap.
Kedua, Susan turut geram dengan inkonsistensi pemerintah jika merujuk pada Pasal 5 Permen 12/2020. Di sana tertulis bahwa pengekspor harus berhasil melakukan panen lobster secara berkelanjutan, sekurangnya satu kali, untuk mendapat kuota ekspor.
Namun, sebagaimana diketahui, ternyata pada awal Juli lalu, sudah ada tiga perusahaan yang melakukan ekspor. Padahal, untuk masa sekali panen atau pembesaran dari benih hingga ukuran besar, sekurangnya membutuhkan waktu 6 bulan hingga 8 bulan. Artinya, ekspor seharusnya baru bisa dilakukan pada 2021 mendatang.
Jika tolok ukurnya adalah Permen 56/2016, maka tidak ada satu pun perusahaan yang memiliki rekam jejak budi daya. Sebab, di bawah pemerintahan Susi, budi daya lobster dari benih dilarang.
“Dari 31 perusahaan yang sudah dapat izin, sekarang sudah ada 60 mungkin, apa ada dari mereka yang melakukan budi daya? Itu kan masih gaib. Bahkan, KKP mengatakan 25 persennya adalah perusahaan baru. Artinya dia belum pernah melakukan budi daya,” tegas Susan.
Adapun tiga perusahaan yang melakukan ekspor adalah PT Aquatic SSLautan, PT Royal Samudera Nusantara, dan PT Tania Asia. Ketiganya baru mendapatkan Sertifikat Instalasi Karantina Ikan (SIKI) dan sertifikat Cara Karantina Ikan yang Baik (SCKIB) pada 2020.
Menurut Susan, karena lemahnya pengawasan, sangat mungkin para pengusaha mengelabui petugas DKP dan KKP dengan membeli lobster dari nelayan dalam ukuran besar. Seolah-olah mereka berhasil membesarkan lobster.
Terakhir, Susan menyebut Permen 12/2020 tidak lahir dari keluhan nelayan. Dia memaparkan, apa yang diinginkan nelayan sesungguhnya adalah revisi Permen 56/2016 bukan malah membuka keran ekspor benur.
“Di Permen 56/2016 bu Susi maunya di atas 200 gram yang diekspor. Sebenarnya yang mereka inginkan (nelayan dan pembudi daya) diturunkan beratnya, jadi 150 gram. Karena 200 gram itu terlalu berat dan waktunya terlalu lama,” papar dia.
Susan menyambung, jika aturan ini berpihak pada rakyat, seharusnya KKP mendorong pembentukan koperasi atau asosiasi nelayan untuk menggalakkan kegiatan budi daya. Dengan demikian, keuntungan benar-benar dirasakan oleh rakyat kecil.
Selama tidak ada koperasi, sekalipun nelayan dihargai Rp5.000 untuk setiap benihnya, maka relasi antara mereka dengan pengekspor adalah buruh-pengusaha.
“Eksportir bisa saja menjualnya Rp25 ribu hingga Rp35 ribu. Itu ada gap angka yang cukup tinggi dan itu gak sepadan dengan apa yang hilang dari laut kita, termasuk kedaulatan kita. Permennya seolah-olah manis, tapi malah menjadikan nelayan sebagai buruh."
Halim juga melihat kesesatan logika pada Permen ini. Menurutnya, bagaimana bisa nelayan dan pembudi daya dituntut melakukan budi daya tapi benihnya juga diekspor ke luar negeri.
“Apa iya setelah, misalnya, tiga tahun kita budi daya sambil ekspor terus tahun keempat kita sudah ahli budi daya? Adanya nanti ketika sudah bisa budi daya, benihnya malah langka,” tambahnya.