Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Bendera AS (unsplash.com/David Vives)
Ilustrasi Bendera AS (unsplash.com/David Vives)

Intinya sih...

  • RUU anggaran AS mencantumkan pajak baru bagi investor asing.
  • Pajak progresif hingga 20 persen terhadap pendapatan pasif investor asing.
  • Yield obligasi pemerintah AS naik ke level tertinggi sejak Oktober 2023.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Wall Street dilanda kekhawatiran atas RUU anggaran Amerika Serikat (AS) yang mencantumkan pajak baru bagi investor asing. Ketentuan dalam pasal 899 ini dinilai dapat menurunkan minat global terhadap aset keuangan AS seperti obligasi pemerintah dan dolar.

Analis menyoroti risiko pergeseran aliran modal global akibat pajak progresif hingga 20 persen terhadap pendapatan pasif investor asing, seperti dividen dan royalti. RUU ini telah disetujui DPR dan kini menunggu keputusan Senat, memicu kegelisahan di pasar keuangan.

1. Pajak baru ancam daya tarik aset AS

RUU tersebut menetapkan pajak hingga 20 persen bagi investor asing dari negara yang dianggap menerapkan kebijakan pajak tidak adil. Menurut Congressional Budget Office, aturan ini berpotensi menambah penerimaan negara sebesar 116 miliar dolar AS (Rp1,8 kuadriliun) dalam sepuluh tahun. Namun, dampaknya terhadap pasar keuangan AS menjadi perhatian utama.

George Saravelos, kepala riset valuta asing Deutsche Bank, menyebut kebijakan ini bisa menggeser konflik dagang menjadi konflik modal. Kebijakan ini membuka jalan bagi AS untuk memulai perang modal,” ujarnya.

Pajak ini dikhawatirkan menekan permintaan terhadap Treasuries dan dolar. Michael Zezas dari Morgan Stanley menilai investor dari Uni Eropa, Inggris, India, Brasil, dan Australia bisa terdampak karena negaranya dikategorikan diskriminatif oleh AS. Hingga kini, Gedung Putih belum mengeluarkan pernyataan resmi.

2. Dampak pada pasar obligasi dan dolar AS

Kekhawatiran pasar tercermin dari naiknya yield obligasi pemerintah AS tenor panjang. Yield obligasi 30 tahun mencapai 5,13 persen—tertinggi sejak Oktober 2023—usai lelang obligasi 20 tahun gagal menarik minat, dikutip CNBC. 

“Pasar obligasi memberi sinyal negatif terhadap kebijakan fiskal ini,” kata Sam Stovall, kepala strategi investasi CFRA Research, dikutip CNN.

Ia menambahkan bahwa yield tinggi bisa meningkatkan biaya pinjaman secara luas. “Kami melihat tren percepatan aksi jual menjelang pemungutan suara di Senat,” ujar Naomi Fink dari Nikko Asset Management.

3. Ketidakpastian defisit dan reaksi pasar

RUU anggaran ini diproyeksikan menambah 3,8 triliun dolar AS (Rp61,9 kuadriliun) utang federal dalam 10 tahun ke depan, menaikkan total utang menjadi 36,2 triliun dolar AS (Rp589,6 kuadriliun). Kekhawatiran makin besar pasca penurunan peringkat kredit AS oleh Moody’s pada 16 Mei 2025, yang menyoroti defisit fiskal dan beban bunga tinggi.

Brian Nick dari NewEdge Wealth menilai pasar cemas Senat akan mengurangi pemotongan anggaran dan menambah stimulus.

“Jika defisit membesar, yield bisa tetap tinggi dalam jangka panjang,” ujar Nick.

Hal ini berpotensi memicu volatilitas pasar. Namun, Morgan Stanley melihat peluang bagi sektor industri, komunikasi, dan energi karena pemotongan pajak dalam RUU tersebut. Meski demikian, tanpa pertumbuhan ekonomi yang cukup, manfaat pajak bisa tertutup oleh lonjakan utang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team