ilustrasi kemiskinan (pexels.com/Riya Kumari)
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira menyatakan revisi garis kemiskinan bukan hal tabu. Dia mencontohkan Malaysia yang pada 2019 memperbarui garis kemiskinan untuk memperbesar porsi bantuan sosial.
Menurut Bhima, berbeda dengan Malaysia, pemerintah Indonesia tampak khawatir kenaikan angka kemiskinan akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), apalagi di tengah rasio pajak rendah dan meningkatnya utang jatuh tempo.
"Tapi di sisi lain langkah BPS yang belum juga merevisi garis kemiskinan justru terkesan membatasi hak orang yang benar-benar miskin dari akses bantuan pemerintah,” kata Bhima.
Bhima juga menyoroti masalah akurasi data yang berdampak pada efektivitas stimulus pemerintah. Dia mencontohkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) pada Juni-Juli 2025 mendatang yang menciptakan ketimpangan.
"Sepertinya saat ini mengulang kesalahan yang sama dimana banyak pekerja informal, pekerja kontrak, ojol, dan pekerja outsourcing tidak mendapat BSU karena persoalan pendataan,” ungkap Bhima.
Celios mengusulkan redefinisi pengukuran kemiskinan dengan pendekatan berbasis disposable income, yang mempertimbangkan pendapatan setelah kebutuhan pokok dan kewajiban dasar terpenuhi, serta faktor geografis dan kebutuhan nonmakanan.
Sebagai referensi, Uni Eropa telah menerapkan pendekatan hidup yang layak yang mencakup indikator literasi, kesehatan, pengangguran, hingga kebahagiaan.
Celios juga mendorong pemahaman data kemiskinan seharusnya berfungsi sebagai alat evaluasi kebijakan, bukan alat politik. Dengan membandingkan tingkat kemiskinan sebelum dan sesudah intervensi fiskal, pemerintah dapat menilai efektivitas program redistribusi seperti Makan Bergizi Gratis, PKH, atau subsidi pupuk.
Untuk mendorong perubahan, Celios merekomendasikan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) yang akan menjadi dasar koordinasi lintas lembaga dalam menyusun indikator baru, memperkuat integrasi data, dan menyelaraskan program pengentasan kemiskinan secara nasional.