Ilustrasi pembayaran online (freepik.com/freepik)
Dwi Astuti menuturkan, yang menjadi dasar pengenaan pajaknya bukan nilai pengisian uang (top up), saldo (balance), atau nilai transaksi jual beli, melainkan atas jasa layanan penggunaan uang elektronik atau dompet digital.
"Artinya, jasa layanan uang elektronik dan dompet digital bukan merupakan objek pajak baru," kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (21/12/2024).
Dia mencontohkan, misal seseorang melakukan top up uang elektronik sebesar Rp1 juta, dengan biaya top up misalnya Rp1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut:
- 11 persen x Rp1.500 = Rp165
Namun dengan kenaikan PPN menjadi 12 persen, maka PPN dihitung menjadi:
- 12 persen x Rp1.500 = Rp180
"Jadi, kenaikan PPN sebesar 1 persen hanya Rp15," ucapnya.
Dia juga memberi contoh pengenaan PPN untuk pengisian dompet digital. Contoh, sesorang mengisi dompet digital Rp500 ribu, dengan biaya pengisian misalnya Rp1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut:
- 11 persen x Rp1.500 = Rp165
Namun dengan kenaikan PPN menjadi 12 persen, maka PPN dihitung menjadi:
- 12 persen x Rp1.500 = Rp180
"Artinya, berapa pun nilai uang yang di-top up tidak akan mempengaruhi PPN terutang atas transaksi tersebut karena PPN hanya dikenakan atas biaya jasa layanan untuk top up tersebut, sehingga sepanjang biaya jasa layanan tidak berubah, maka dasar pengenaan PPN juga tidak berubah," tutur Dwi Astuti.