Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)
Waktu itu awal pandemik tahun 2020 semuanya panik karena jelas memahami virusnya sendiri adalah suatu tantangan. Kita tidak tahu bagaimana transmisinya, makanya waktu itu banyak beredar di WA grup, di Instagram jangan pegang barang-barang dan kalau kalian ke masjid ini bisa jadi tempat penularan sehingga ini jadi suatu ketakutan luar biasa.
Kedua memang obatnya belum tahu, jadi semuanya dalam situasi begitu Anda kena virusnya kemungkinan Anda akan masuk rumah sakit, kemungkinan harus dapat oksigen bahkan ventilator menjadi sangat besar kemungkinannya. Nah dalam situasi seperti itu orang kan kemudian evidence maupun knowledge pengetahuan awal untuk mengatakan pertama tenaga kesehatan menjadi sangat vulnerable, paling rentan jadi dia harus punya APD.
Kita gak punya APD waktu itu. APD yang ada di Indonesia, yang dibuat oleh perusahaan di Indonesia itu pesanan dari Korea, dari Jepang sehingga waktu itu Jepang Korea karena menghadapi situasi yang sama minta produksinya dinaikkan, APD kita diekspor pada saat nakes kita nggak punya APD, waktu itu kita setop.
Saya dan Bu Menlu (Retno Marsudi) harus negosiasi sama Jepang, sama Korea bilang itu ‘morally gak benar aja kita bikin APD, tapi nakes kita pada meninggal atau kena’ sehingga kita negosiasi ‘oke kamu tambahkan raw material-nya, kita bikin 50 persen untuk Indonesia, 50 persen boleh untuk kembali ke negara kalian.’ Itu juga salah satu proses yang extraordinary diplomacy dalam situasi yang terrifying, sangat menakutkan.
Kemudian kita sudah tahu bahwa, oh ini hanya akan, kalau namanya virus pasti membutuhkan vaksin. Untuk mengembangkan vaksin pasti butuh uang dan yang bisa punya duit adalah negara-negara kaya padahal ini virus tidak diskriminatif, gak kaya, gak miskin, gak putih, gak hitam, gak kuning menteri, orang biasa semua kena sehingga waktu itu itu pemikirannya vaksin secara global harus diproduksi.
Indonesia membutuhkan dua hal. Kita jelas populasinya besar, kita butuh akses vaksin paling awal, jangan sampai kita tertinggal dan yang kedua kita ingin juga menjadi tempat produksi vaksin. Makanya waktu terjadi inisiatif untuk membentuk yang disebut coronavirus vaksin secara global (GAVI), oleh WHO. Biasanya Melinda Gates itu karena ada di dalam Gates Foundation, perannya Gates Foundation itu salah satu yang memberikan sumbangan dana cukup besar untuk malaria, kemudian untuk riset-riset yang dulu berhubungan dengan stunting, KB Keluarga Berencana sehingga Melinda Gates itu memiliki influence yang sangat besar, suaranya didengar banget.
Saya kebetulan sama Melinda Gates ada di dalam beberapa inisiatif yang waktu itu dibuat oleh Gates Foundation, terutama mengenai ekonomi digital. Bagaimana transisi digital itu bisa inklusif, bisa mentransformasi ekonomi. Jadi dia mengundang beberapa prominent person in the world dan dia invite saya untuk masuk. Jadi kita beberapa kali ketemu sehingga sudah mengenal secara personal dan Gates Foundation memang punya beberapa program di Indonesia waktu itu seperti malaria tadi.
Nah, jadi waktu situasi seperti itu kita langsung tahu bahwa GAVI itu adalah gabungan untuk secara global membuat vaksin terutama untuk negara-negara yang tidak memiliki dana. Di dalam forum GAVI ini saya langsung connect kepada Melinda Gates. Saya bilang, “Melinda, you know Indonesia well, you know us and kita tahu bahwa populasi kita cukup besar. Dalam inisiatif global ini we want Indonesia to participate, tapi kita juga want to have secure the vaccine dari awalnya.”
Jadi oh iya Melinda Gates tahu banget Indonesia, apalagi kita punya Bio Farma yang sebetulnya sudah menjadi produsen vaksin yang selama ini dipakai UNICEF untuk polio dan lain-lain. Jadi mereka tahu reputasi Indonesia, dia tahu tentang Bio Farma dan mereka juga sangat comfortable. Kemudian waktu GAVI membentuk suatu forum untuk COVID-19 ini dicari chairmanship-nya maka kita dorong Bu Menlu aja jadi Co-Chairs (COVAX AMC) jadi dalam hal ini kita bisa secure voice-nya untuk not only Indonesia, tapi juga negara lain.
Jadi itu adalah diplomasi awal, waktu itu Menteri Kesehatan (Budi Gunadi Sadikin) masih menjadi Wakil Menteri BUMN yang membawahi Bio Farma jadi kita bertiga sudah tektokan untuk bisa men-secure, meng-establish, menggunakan network yang ada dan untuk mendapatkan akses serta mengetahui negara ini, dunia bergerak seperti apa karena semua negara waktu itu inward looking, Uni. Namanya lagi diserang sama virus, semua orang pokoknya menyelamatkan rakyatnya. Me first, my people first.
Jadi, personal relationship sangat membantu ya di awal-awal pandemik untuk diplomasi vaksin. Sangat penting. Artinya reputation sebuah negara, pejabatnya, dan terutama network itu berdasarkan track record ya. Nggak mungkin tiba-tiba orang, ujug-ujug kalaupun Anda punya network, tapi kalau reputasi Anda kurang bagus biasanya orang malas juga kan.
Artinya di dalam global networking itu kan mereka melihat respectability dari orang-orang tersebut apakah oh dia menjabat menjadi Menteri Keuangan dia sudah selama ini aktif di berbagai isu-isu pembangunan dunia sehingga orang melihat oh ini bukan orang yang tiba-tiba datang. Sama seperti di pergaulan biasa, Uni. Orang nggak mungkin tiba-tiba orang baru terus petantang-petenteng.