Penyebab Sritex Pailit Diungkap Kemenperin

Intinya sih...
- Faktor penurunan kinerja Sritex disebabkan oleh hantaman produk impor yang menggerus pangsa pasar, terutama di dalam negeri.
- Penurunan kinerja ekspor Sritex akibat pandemik COVID-19 dan perang geopolitik, ditambah persaingan dengan produk tekstil impor di dalam negeri.
- Sritex menerapkan model bisnis yang terintegrasi dari hulu ke hilir, namun kerugian pada salah satu lini bisnis berdampak ke lini bisnis lainnya.
Jakarta, IDN Times - Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKTF) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Reni Yanita buka suara soal kepailitan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex.
Reni mengatakan, penurunan kinerja Sritex disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, hantaman produk impor yang menggerus pangsa pasar Sritex, terutama di dalam negeri.
“Jangan sampai terulang ada kasus-kasus Sritex yang lain kan, karena bisnisnya tuh hampir sama tergerus oleh impor yang luar biasa setelah covid, terus perang, terus Permendag 8,” kata Reni di kantor Kemenperin, Jakarta, Selasa (29/10/2024).
1. Kurangnya keberpihakan regulasi terkait impor tekstil
Faktor kedua ialah kinerja ekspor Sritex yang menurun. Dia mengatakan, porsi ekspor Sritex mencapai 60 persen dibandingkan porsi penjualan dalam negeri. Namun, kinerja ekspor terganggu akibat pandemik COVID-19 dan perang geopolitik.
“Ya karena itu tadi pasti sih mbak kalau orang melihat nih, Sritex kan ekspor, 60 persen ekspor. Terus ketika dunia, global saat ini tidak baik-baik saja kepenginnya kan dia mengisi pasar dalam negeri,” ucap Reni.
Sayangnya, di dalam negeri, Sritex harus berperang dengan produk tekstil impor. Dia pun menyinggung regulasi yang sifatnya sangat krusial dalam menegakkan keberpihakan terhadap produk tekstil dalam negeri.
“Begitu dia lihat dalam negeri kok pemerintah kayaknya kurang juga ya, akhirnya diisilah oleh produk impor,” tutur Reni.
2. Integrasi di bisnis Sritex malah beri efek domino
Reni mengatakan, Sritex sebagai pemain industri tekstil raksasa menerapkan integrasi dalam sistem produksinya. Mulai dari memproduksi benang, sampai ke produk hilir, yakni pakaian jadi.
Menurut Reni, model bisnis Sritex sangat bagus untuk menciptakan efisiensi. Sayangnya, ketika salah satu lini bisnis merugi, maka efeknya berdampak ke lini bisnis lain, alias domino.
“Nah kalau dia terintegrasi kan, kayaknya kalau satu rugi, rugi semua. Nah itu yang semakin menghantam Sritex itu sebenarnya karena dia terintegrasi,” ujar Reni.
3. Tak mau Sritex jatuh seperti Texmaco
Reni mengatakan, pemerintah berupaya menyelamatkan Sritex dengan memberikan bantuan. Namun, bantuan akan diberikan jika Sritex sudah mengajukan proposal penyelamatan, dan sesuai dengan apa yang bisa diberikan pemerintah.
“Kementerian lainnya secepatnya setelah kami tahu skemanya Sritex, karena kan saat ini sedang berproses. Nah jadi Sritex membuat rumusan lah kira-kira usulan dia ke Kementerian itu seperti apa,” tutur Reni.
Dia berharap Sritex masih bisa diselamatkan, dan tak jatuh terpuruk seperti grup Texmaco. Menurutnya, model produksi tekstil yang terintegrasi dari hulu ke hilir yang ada di Indonesia hanyalah Texmaco dan Sritex.
“Dan kalau untuk Indonesia, dengan adanya integrasi itu kan harusnya semakin efisien kan, semakin kita harus perjuangkan, semakin harus kita bela. Apalagi kalau yang terintegrasi kan pasti dia ada proses-proses yang dia efisienkan. Kalau ini hilang, sejarah kita akan terulang seperti Texmaco, hilang tuh semuanya,” ucap Reni.