Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
APBN 2023 catatkan defisit Rp347,6 triliun. (Dok/Youtube Kemenkeu RI
APBN 2023 catatkan defisit Rp347,6 triliun. (Dok/Youtube Kemenkeu RI

Jakarta, IDN Times - Penerimaan bea dan cukai pada 2023 hanya mencapai Rp286,2 triliun atau 95,4 persen dari target Rp300,1 triliun. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa penerimaan kepabeanan dan cukai pada 2023 turun 9,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Bahkan capaian ini merupakan koreksi pertama sejak dua tahun berturut-turut yaitu pada 2020-2021 yang tumbuhnya positif, masing-masing Rp269,2 triliun dan Rp317,8 triliun. 

"Kita lihat kepabeanan dan cukai waktu krisis 2020 (penerimaannya) masih resilient, karena waktu itu banyak sekali barang impor seperti vaksin dan berbagai kebutuhan untuk pandemik. Baru 2021 alami tekanan dan 2022 dengan realisasi Rp317,8 triliun, sedangkan tahun 2023 karena komoditas dan ekspor dan berbagai kebijakan tingkatkan hilirisasi sebabkan ekspor bahan mentah tidak terjadi, ini pengaruhi banyak penerimaan dari bea cukai," tegas Sri Mulyani. 

1. Penerimaan cukai kurang optimal karena turunnya produksi rokok

ilustrasi tembakau (freepik.com/jcomp)

Menurut Sri mulyani, penerimaan cukai yang kurang optimal dipengaruhi oleh kenaikan tarif cukai hasil tembakau yang mendorong penurunan produksi rokok, terutama pada golongan 1 atau produsen rokok terbesar. Padahal CHT merupakan salah satu penyumbang terbesar dari penerimaan negara dari tahun ke tahun.
 
Sri Mulyani mengatakan, sejak pemerintah meneken kebijakan kenaikan CHT sebesar 10 persen pada 2023, produksi rokok di perusahaan-perusahaan rokok raksasa Tanah Air mulai terseok.
 
“Kenaikan dari cukai hasil tembakau, ini kan memang dilakukan berturut-turut dan naiknya cukup besar 10 persen, 10 persen, ini menyebabkan produksi rokok mengalami penurunan terutama golongan I, turunnya bahkan mencapai 14 persen,” kata Sri Mulyani.
 

2. Impor turun, bea masuk lesu

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. (IDN Times/Aditya Pratama)

Lebih rinci, Kemenkeu mencatat, penerimaan bea masuk sebesar Rp50,8 triliun pada 2023, lebih rendah dibandingkan periode 2022 karena nilai impor yang menurun sebesar 6,8 persen. 

Kemudian penerimaan bea keluar yang hanya sebesar Rp13,5 triliun atau hanya mencapai 68,3 persen dari target. Dia menjelaskan, penerimaan bea keluar yang turun mencerminkan harga CPO yang turun sangat tajam, kemudian langkah pemerintah untuk melakukan hilirisasi produk mineral yang berdampak pada penurunan volume ekspor dan tarif bea keluar mineral.

“Kita lihat bea keluar bauksit turun 89 persen karena sejak Maret dilarang ekspor, maka langsung tidak ada kegiatan ekspornya. Tembaga masih tumbuh 10,8 persen, karena kita masih melakukan relaksasi,” jelas Sri Mulyani.

Selain itu, bea keluar produk sawit juga mengalami penurunan yang dalam sebesar 81,2 persen, disebabkan oleh penurunan harga rata-rata CPO sebesar 34,1 persen, meski volume ekspor kelapa sawit masih tumbuh 3 persen. 

3. Cukai rokok naik 10 persen sejak 1 Januari

ilustrasi merokok (IDN Times/Arief Rahmat)

Harga rokok naik mulai Senin (1/1/2024), usai Kementerian Keuangan memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata 10 persen.

Dengan demikian, harga rokok menjadi lebih mahal pada tahun ini. Aturan kenaikan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/2022 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot dan Tembakau Iris (TIS).

"Batasan harga jual eceran per batang atau gram dan tarif cukai per batang atau gram hasil tembakau buatan dalam negeri, sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf B Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2024," demikian bunyi aturan tersebut.

Adapun tarif CHT seperti sigaret naik 10 persen pada 2023 dan tahun ini. Sedangkan untuk CHT rokok elektronik rata-rata sebesar 15 persen dan hasil pengolahan tembakau lainnya rata-rata sebesar 6 persen.

Adapun kebijakan CHT untuk 2024 tetap menggunakan kebijakan multiyears yang mengacu pada PMK Nomor 191 Tahun 2022 dan PMK Nomor 192 Tahun 2022, untuk jenis rokok elektrik (REL) dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL).

Editorial Team