Irfan Setiaputra, Direktur Utama Garuda Indonesia (IDN Times/Aldila Muharma)
Kinerja maskapai Garuda Indonesia, beberapa kali tercatat merugi. Pada 2014, maskapai milik negara ini mencatatkan kerugian sebesar US$371,9 juta selama tahun buku 2014 atau sekitar Rp4,87 triliun (asumsi kurs Rp13.100). Namun kemudian, Garuda Indonesia berhasil membukukan laba bersih sebesar US$77,97 juta sepanjang 2015 atau sekitar Rp1,075 triliun (asumsi kurs Rp13.788) dan mencatatkan laba pada 2016, sebesar US$9,36 juta dolar atau Rp124,5 miliar.
Sayang pencapaian tersebut tidak bertahan lama. Di tahun 2017, emiten berkode saham GIAA ini merugi US$213,4 juta atau sekitar Rp2,98 triliun (asumsi kurs Rp14.000). Kemudian pada 2018, Garuda mencatat rugi sebesar US$175,02 juta atau setara Rp2,45 triliun. Laporan keuangan pada periode 2018 tersebut sempat menjadi polemik, lantaran Garuda Indonesia memanipulasi laporan keuangannya dengan sempat membukukan untung.
Pada 2019, akhirnya Garuda Indonesia berhasil mencatatkan untung US$ 6,98 juta atau sekitar Rp 97,8 miliar sepanjang 2019. Namun pada semester pertama tahun 2020, Garuda Indonesia kembali mencatatkan rugi US$712,72 atau setara Rp10,34 triliun (kurs Rp14.500 per dollar AS) berdasarkan laporan keuangan yang belum dial audit.
Tahun ini, Garuda Indonesia memang sangat terpukul oleh pandemik COVID-19, karena itu lah Garuda Indonesia menjadi salah satu perusahaan BUMN yang mendapat bantuan dari pemerintah berupa dana talangan Rp8,5 triliun, yang akan digunakan untuk memperbaiki kinerja perseroan.
Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalamanan unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.