Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-09-19 at 16.49.51.jpeg
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam Media Briefing di Kementerian Keuangan. (IDN Times/Triyan)/

Intinya sih...

  • Ketentuan batas maksimal defisit tetap 3 persen terhadap PDB

  • Menkeu Purbaya tekankan yang terpenting kemampuan dalam membayar

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pemerintah tidak akan mengubah batas defisit maupun rasio utang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pernyataan ini disampaikannya untuk menanggapi langkah Komisi XI DPR RI yang memasukkan RUU Keuangan Negara ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.

“Anda mungkin berpikir saya mau melanggar batas 3 persen. Itu tidak ada,” ujar Purbaya, dikutip Sabtu (20/9/2025).

1. Ketentuan batas maksimal defisit tetap 3 persen terhadap PDB

ilustrasi utang (freepik.com/freepik)

Ia menjelaskan, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan tetap mengacu pada ketentuan batas maksimal defisit sebesar 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Menurutnya, apabila kebijakan fiskal yang diambil mampu memberikan dampak positif terhadap perekonomian, maka aktivitas ekonomi akan meningkat dan penerimaan pajak pun turut terdongkrak.

Dengan demikian, ia menilai tidak diperlukan perubahan terhadap undang-undang tersebut untuk menaikkan batas defisit maupun rasio utang pemerintah, yang saat ini ditetapkan maksimal sebesar 60 persen dari PDB.

2. Menkeu Purbaya tekankan yang terpenting kemampuan dalam membayar

(Ilustrasi pertumbuhan ekonomi) IDN Times/Arief Rahmat

Namun demikian, Purbaya berpendapat, penetapan batas defisit 3 persen dan rasio utang 60 persen dalam Undang-Undang Keuangan Negara sejatinya tidak memiliki dasar yang sepenuhnya kuat secara ekonomi.

Ia menjelaskan angka-angka tersebut sebenarnya hanya mengikuti praktik umum yang diterapkan di sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, di mana indikator tersebut digunakan sebagai acuan awal dalam menilai kemampuan membayar utang.

“Sebetulnya yang terpenting adalah kemampuan untuk membayar. Angka-angka itu hanya bersifat indikatif, tidak terlalu menentukan. Investor hanya ingin melihat apakah suatu negara mampu dan bersedia membayar utangnya,” ujarnya.

3. Indonesia tidak pernah alami gagal bayar

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Arief Rahmat)

Purbaya menegaskan, Indonesia sejauh ini tidak pernah mengalami gagal bayar dan memiliki kekayaan yang cukup untuk memenuhi kewajiban utang, sehingga tidak perlu khawatir dengan batasan tersebut.

Ia mencontohkan, di Eropa berlaku aturan defisit maksimum 3 persen dan rasio utang 60 persen terhadap PDB, namun hampir semua negara di kawasan itu melanggar ketentuan tersebut. Bahkan, menurutnya, Amerika Serikat memiliki rasio utang terhadap PDB mendekati 100 persen dengan defisit sekitar 6 persen.

“Seandainya Indonesia dalam kondisi terdesak, pertanyaan yang muncul adalah mengapa negara-negara tersebut boleh melampaui batas, sementara kita justru dibatasi ketat. Seandainya kepepet, kenapa mereka boleh, kita tidak boleh?” ucapnya.

Berdasarkan dokumen Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menunjukkan rasio utang Indonesia terhadap PDB kurun waktu 2021-2024 terakhir relatif stabil dan bahkan menunjukkan tren penurunan. Berikut rinciannya:

Rasio Utang terhadap PDB (persen)

2021 40,74 persen

2022 39,70 persen

2023 39,2 persen

2024 38,81 persen

Editorial Team