Daftar Lengkap Negara dengan Rasio Utang Terbesar, RI Urutan Berapa?

- Negara dengan rasio utang tertinggi mencapai 252 persen dari PDB, dipimpin oleh Sudan, diikuti Jepang, Singapura, Yunani, dan Bahrain.
- Indonesia termasuk dalam negara dengan rasio utang di bawah 60 persen, bersama dengan Qatar, Iran, dan Bangladesh.
- Tingginya tingkat utang dapat mempengaruhi kebijakan moneter, pertumbuhan ekonomi yang lambat, dan risiko jangka panjang seperti perlambatan pertumbuhan ekonomi dan pelemahan mata uang.
Jakarta, IDN Times - Negara-negara di seluruh dunia masih menaruh perhatian besar terhadap isu utang publik, seiring dengan tekanan fiskal yang muncul pasca-pandemik, ketidakstabilan geopolitik, serta perlambatan ekonomi.
Data World Economic Outlook (WEO) edisi April 2025 yang dirilis International Monetary Fund (IMF) menunjukkan perbandingan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau debt-to-GDP ratio di sejumlah negara.
Rasio tersebut menjadi indikator penting untuk mengukur seberapa besar beban utang yang ditanggung pemerintah dibandingkan dengan output ekonominya.
1. Negara dengan rasio utang terhadap PDB tertinggi
.jpg)
IMF mencatat negara maju cenderung memiliki rasio utang lebih tinggi dibandingkan negara berkembang. Rata-rata rasio utang terhadap PDB negara maju berada di angka 110 persen, sedangkan negara berkembang dan ekonomi pasar baru sekitar 74 persen.
Sudan menjadi negara dengan rasio utang tertinggi, yakni mencapai 252 persen dari PDB, menggeser Jepang sejak 2023. Di urutan kedua hingga 10 secara berurutan, yakni Jepang dengan rasio 235 persen dari PDB, Singapura 175 persen, Yunani 142 persen, Bahrain dan Maladewa masing-masing 141 persen, Italia menempati posisi tujuh dengan rasio 137 persen, disusul Amerika Serikat 123 persen, Prancis 116 persen, dan Kanada 113 persen terhadap PDB.
Di urutan berikutnya, ada Senegal 111 persen, Ukraina dan Cabo Verde masing-masing 110 persen, Belgia 106 persen, Inggris 104 persen, Bhutan 103 persen, serta Mozambik dan Spanyol yang sama-sama 101 persen. Sementara itu, Dominika dan Barbados 98 persen.
China tercatat memiliki rasio utang 96 persen, diikuti Saint Vincent and the Grenadines 94 persen. Jordan berada di level 93 persen, sementara Bolivia, Brasil, dan Portugal sama-sama 92 persen. Congo dan Laos mencatatkan 91 persen, lalu El Salvador, Mesir, dan Suriname berada di kisaran 87–88 persen. Finlandia menorehkan 86 persen, Uni Eropa 84 persen, dan Mauritius, Austria, serta Tunisia masing-masing 83 persen.
India dan Afrika Selatan sama-sama berada di level 80 persen, sedangkan Bahama, Guinea-Bissau, dan Gabon 79 persen. Fiji dan Rwanda di 78 persen, Pakistan, Saint Lucia, dan Hungaria di 74 persen, lalu Argentina dan Malawi di 73 persen. Grenada, Yaman, dan Aruba di level 71 persen, sementara Malaysia dan Togo 70 persen. Israel, Maroko, dan Uruguay di kisaran 69 persen, Kenya, Slovenia, Trinidad dan Tobago, serta Gambia di 68 persen, dan Ghana 66 persen.
Jerman, Palau, Jamaika, Angola, dan Thailand masing-masing 65 persen, disusul San Marino dan Namibia dengan 64 persen. Antigua dan Barbuda, Sudan Selatan, dan Myanmar 63 persen, sementara Rumania 62 persen.
Meksiko dan Polandia berada di angka 61 persen, diikuti oleh Siprus, Montenegro, Saint Kitts and Nevis, Slowakia, Kolombia, Kosta Rika, dan Lesotho yang sama-sama 60 persen. Belize juga berada di posisi yang sama dengan rasio 60 persen.
2. Negara dengan rasio di bawah 60 persen

Di bawah level 60 persen, terdapat Seychelles dan Zimbabwe dengan 59 persen, Republik Afrika Tengah, Republik Dominika, Pantai Gading, Panama, Filipina, dan Aljazair yang sama-sama 58 persen, serta Liberia dengan 57 persen.
Kroasia dan Selandia Baru masing-masing 56 dan 55 persen, bersama Armenia dan Korea Selatan yang juga mencatatkan 55 persen. Albania dan Uganda di level 54 persen, Islandia, Makedonia Utara, Benin, dan Nigeria di angka 53 persen, lalu Papua Nugini dan Mali masing-masing 52 persen.
Madagaskar dan Australia mencatatkan 51 persen, Burkina Faso dan Irak 50 persen, sementara Nepal, Malta, dan Vanuatu berada di 49 persen. Latvia mencatatkan 48 persen, Tanzania 47 persen, Mauritania 46 persen, dan Serbia, Sierra Leone, Republik Ceko, Tonga, serta Paraguay sama-sama di level 44 persen. Niger, Belanda, Botswana, Cile, Honduras, Belarus, Norwegia, dan Mongolia berada di angka 43 persen, diikuti Ethiopia dan Lituania dengan 42 persen.
Indonesia termasuk dalam kelompok ini dengan rasio 41 persen, sama seperti Qatar. Indonesia berada di peringkat 129, sedangkan Qatar di peringkat 130. Sementara Bangladesh, Kamerun, Iran, dan Guinea mencatatkan 40 persen, Kyrgyzstan 39 persen, Nikaragua dan Eswatini 38 persen, serta São Tomé and Príncipe, Swiss, dan Irlandia di level 37 persen.
Moldova dan Georgia berada di 36 persen, Oman, Burundi, dan Guinea Khatulistiwa masing-masing 35 persen, serta Arab Saudi di angka yang sama. Chad, Bosnia dan Herzegovina, Peru, Swedia, dan Vietnam mencatatkan 34 persen. Uzbekistan, Uni Emirat Arab, dan Komoro 33 persen, Andorra 32 persen, Djibouti 31 persen, serta Kamboja 29 persen.
Tajikistan, Bulgaria, dan Guyana berada di level 28 persen, disusul Guatemala dan Turki 27 persen, serta Denmark di angka yang sama. Luksemburg mencatatkan 26 persen, Estonia dan Kazakhstan 25 persen, Taiwan dan Kepulauan Solomon 24 persen, Samoa 23 persen, Rusia dan Azerbaijan 21 persen.
Kemudian, Puerto Riko dan Kosovo 19 persen, Republik Demokratik Kongo 16 persen, Kepulauan Marshall dan Nauru 15 persen, Timor-Leste 14 persen, serta Haiti dan Hong Kong yang sama-sama mencatatkan 12 persen. Federasi Mikronesia dan Kiribati menorehkan 9 persen, Kuwait 7 persen, Turkmenistan 5 persen, Tuvalu 3 persen, Brunei Darussalam 2 persen, dan Makau menjadi negara dengan catatan rasio utang 0 persen.
3. Dampak tingginya tingkat utang

Tingkat utang publik yang tinggi biasanya dipengaruhi kebijakan moneter longgar, quantitative easing, pertumbuhan ekonomi yang lambat, serta kebutuhan belanja publik yang besar. Lonjakan utang kerap terjadi setelah resesi atau guncangan ekonomi, seperti krisis finansial 2008 dan pandemik COVID-19, ketika pemerintah menggelontorkan stimulus untuk menopang ekonomi.
IMF mencatat, meski utang dapat membantu pemerintah mengatasi perlambatan ekonomi, beban utang yang terlalu tinggi menimbulkan risiko jangka panjang. Risiko tersebut, meliputi perlambatan pertumbuhan ekonomi, pelemahan mata uang, hingga kemungkinan gagal bayar yang memaksa negara meminta bantuan internasional.
Namun, beberapa negara seperti Jepang dan Amerika Serikat dinilai memiliki fleksibilitas lebih karena menerbitkan utang dalam mata uang mereka sendiri. Kendati begitu, meningkatnya beban bunga tetap menjadi tantangan bagi negara-negara tersebut di masa depan.