Bukan Resesi, Inflasi dan Pertumbuhan Rendah Hantui Dunia
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times – Di tengah berbagai ketidakpastian termasuk perang Rusia, para ekonom mengatakan resesi global tidak akan segera terjadi. Tetapi mereka memperingatkan soal ancaman dari kenaikan biaya dan pertumbuhan yang lebih lambat.
“Tidak akan ada ‘setelah’ stagflasi yang tiba-tiba,” kata Simon Baptist, kepala ekonom global di Economist Intelligence Unit, merujuk pada resesi yang mengejutkan setelah periode stagflasi.
Baptist menambahkan bahwa stagflasi akan bertahan setidaknya selama 12 bulan ke depan jika perang di Ukraina dan pandemik COVID-19 terus mendatangkan malapetaka pada rantai pasokan. Mengutip CNBC, Senin (30/5/2022), stagflasi merupakan kondisi yang ditandai dengan pertumbuhan rendah dan inflasi tinggi.
Baca Juga: Lonjakan Harga Komoditas Jadi Berkah buat Ekspor tapi Picu Inflasi
1. Pasokan banyak komoditas Rusia akan berkurang secara permanen
Baptist lebih lanjut mengungkapkan bahwa harga komoditas akan mulai turun pada kuartal berikutnya. “Tetapi akan tetap lebih tinggi secara permanen daripada sebelum perang di Ukraina karena alasan sederhana bahwa pasokan banyak komoditas Rusia akan berkurang secara permanen,” katanya.
Pandemik serta perang di Ukraina memang telah membuat pasokan komoditas dan barang berkurang. Selain itu, juga mengganggu distribusi yang efisien dalam rantai pasokan global. Kondisi ini memicu naiknya harga barang sehari-hari seperti bahan bakar dan makanan.
Baca Juga: Lonjakan Harga Komoditas Jadi Berkah buat Ekspor tapi Picu Inflasi
2. Pertumbuhan dunia masih terus berlanjut
Editor’s picks
Namun, Baptist mengatakan bahwa meskipun harga yang lebih tinggi akan menyebabkan penderitaan bagi rumah tangga, pertumbuhan di banyak bagian dunia, meskipun lambat, masih terus berlanjut dan pasar kerja belum runtuh.
Ia juga menyebut tingkat pengangguran di banyak negara telah mencapai titik terendah dalam beberapa dekade. Jadi konsumen, katanya, tidak perlu mulai bersiap untuk resesi meski harus tetap waspada.
“Untuk hampir semua ekonomi Asia, resesi cukup tidak mungkin, jika kita berbicara tentang periode berturut-turut dari PDB negatif,” kata Baptist kepada CNBC's Street Signs, Kamis.
Baca Juga: Inggris Catatkan Inflasi Tertinggi Sejak 1982, Rekor Buruk!
3. Konsumen siap hadapi resesi
Mengenai kesiapan konsumen, Baptist mengatakan bahkan jika ekonomi global berada dalam risiko resesi, banyak konsumen memiliki tabungan yang cukup dan telah menimbun barang-barang rumah tangga.
“Jadi sampai batas tertentu, itu tidak akan terasa seburuk yang terlihat pada angka-angka langsung,” katanya.
Selain Baptist, Kepala Ekonom AMP Capital Shane Oliver juga memperkirakan resesi tidak akan terjadi dalam waktu dekat, setidaknya tidak untuk 18 bulan lagi.
“Kurva imbal hasil atau kesenjangan antara imbal hasil obligasi jangka panjang dan suku bunga jangka pendek belum secara tegas membalikkan atau memperingatkan resesi dan bahkan jika sekarang rata-rata mengarah ke resesi adalah 18 bulan,” katanya dalam sebuah catatan.
Ia berpandangan bahwa pasar bearish (menurun) yang dalam dapat dihindari di AS dan di Australia. Pada saat yang sama, ia menyebut bank sentral di seluruh dunia telah memperketat suku bunga untuk memerangi inflasi.