Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. (IDN Times/Triyan).
Di sisi lain, Airlangga menyampaikan optimismenya bahwa Uni Eropa akan menunda implementasi European Union Deforestation Regulation (EUDR) hingga 2027. Menurutnya, peluang penundaan tersebut semakin terbuka setelah Indonesia dan Uni Eropa menyepakati perjanjian Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA) pada 23 September lalu.
“Dengan kerja sama Indonesia melalui I-EU CEPA, Uni Eropa kembali mengajukan penundaan implementasi EUDR, yang sebelumnya sudah dibawa ke Parlemen, hingga tahun 2027,” ujar Airlangga.
Ia menambahkan bahwa jika usulan penundaan ini diputuskan, Indonesia bersama sejumlah negara lain yang menolak penerapan regulasi tersebut akan memiliki ruang waktu yang lebih memadai untuk melakukan penyesuaian.
Sejak pertama kali diperkenalkan pada 2019, EUDR memang menimbulkan kekhawatiran dan penolakan dari berbagai pihak. Regulasi ini dianggap tidak melibatkan negara produsen komoditas yang akan terdampak, seperti kayu (timber), kelapa sawit, kopi, kakao, kedelai, karet, dan sapi (cattle). Selain itu, aturan tersebut dinilai belum mempertimbangkan kapasitas produsen kecil, keberadaan regulasi nasional yang berdaulat termasuk skema sertifikasi sawit berkelanjutan—serta aspek perlindungan data pribadi.
“Ini juga merupakan kemenangan bagi Indonesia, karena Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang memiliki pandangan sejalan (like-minded countries) dan mengambil posisi memimpin dalam mendorong perbaikan ketentuan EUDR,” tambahnya.
Sebagai catatan, EUDR awalnya direncanakan mulai berlaku pada akhir 2024, namun pelaksanaannya ditunda satu tahun oleh Komisi Eropa untuk memberikan waktu lebih bagi pelaku usaha menyiapkan pemenuhan kewajiban. Pada September 2025, Komisi Eropa kembali mempertimbangkan penundaan tambahan satu tahun karena sistem teknologi informasi yang tersedia dinilai belum mampu menangani beban data besar yang akan dihasilkan oleh regulasi tersebut.