ilustrasi gandum (pexels.com/@TymurKhakimov-FollowMyPatreon)
Berkaca dari sejarah, krisis pangan yang melanda suatu negara tidak berujung baik. Andreas mencontohkan krisis pangan Arab Spring di 2011, di mana Indeks Harga Pangan (Food Price Index) ini mencapai level tertingginya yang saat itu menyentuh 240 atau meningkat hampir 2,4 kali lipat dibanding dengan rata-rata tahunannya di 2004 sampai 2006.
"Dan itu menyebabkan banyak negara mengalami guncangan politik, sosial maupun kerusuhan-kerusuhan akibat pangan, di Mozambik, Tunisia, Libya dan sebagainya," ujarnya.
Kemudian yang relatif masih baru adalah Sudan Coup di 2018, yang mana pada bulan Desember diketahui Presiden Sudan menaikkan harga roti 3 kali lipat. Akibatnya terjadi kerusuhan di Khartoum dan pada akhirnya pemerintah tersebut jatuh di April 2019.
Lalu yang paling baru adalah Sri Lanka yang diawali permasalahan ekonomi, namun kemudian merembet ke persoalan pangan. Pada tahun-tahun terakhir, terjadi penurunan produksi pangan dalam negerinya bahkan penurunannya sangat besar sekitar 40 persen sampai 50 persen. Itu disebabkan sulitnya petani mengakses pupuk.
Lalu di April 2021 tahun lalu, pemerintah Presiden Rajapaksa melarang impor pupuk sintetik untuk mendorong sistem pertanian organik. Lalu menyebabkan produksi turun dan hampir 30 persen rumah tangga rawan pangan, dan terjadi kenaikan harga pangan yang tinggi sampai 57 persen. Akhirnya pada 13 Juli yang lalu Presiden Sri Lanka, Rajapaksa meninggalkan Sri Lanka sampai akhirnya mundur dari jabatan.