Kisah Reed Hastings, Pendiri Netflix yang Tidak Ingin Jadi CEO

Tidak pernah berniat menjadi seorang CEO

Jakarta, IDN Times - Tak banyak publik yang mengenal nama Reed Hastings. Namun, publik khususnya para pecinta film pasti mengenal Netflix, sebuah layanan streaming film yang begitu mendunia saat ini. Ya, Reed Hastings adalah Chief Executive Officer (CEO) sekaligus pendiri Netflix.

Laiknya seorang pengusaha pada umumnya, Reed Hastings juga merasakan jatuh bangun sebelum membuat Netflix menjadi begitu besar dengan ratusan juta pelanggan di seantero penjuru Bumi.

Kisahnya dalam menjadi seorang pengusaha dan akhirnya mendirikan Netflix bisa menjadi pelajaran bagi siapa pun yang ingin menjadi seorang CEO atau mendirikan bisnis sendiri.

Baca Juga: Sundar Pichai, Pria India yang Sukses Jadi Orang Nomor Satu di Google

1. Tidak pernah berniat menjadi CEO

Kisah Reed Hastings, Pendiri Netflix yang Tidak Ingin Jadi CEOentrepreneur.com

Sebelum sukses dengan Netflix, Hastings terlebih dahulu mendirikan sebuah perusahaan bernama Pure Atria. Di bawah kendalinya sebagai pendiri sekaligus CEO selama enam tahun atau tepatnya sejak 1991-1997, Pure Atria sukses menjadi sebuah perusahaan di bidang piranti lunak.

Namun, sejatinya Hastings tidak ingin menjadi seorang CEO. Hal itu terjadi karena dia menganggap dirinya sendiri sebagai seseorang yang tidak mampu menjadi pemimpin.

Kendati Pure Atria selalu mencatatkan penjualan dua kali lipat setiap tahunnya, Hastings justru selalu mengganti VP Sales selama lima dari total enam tahunnya di perusahaan tersebut.

"Aku tidak mahir memilih. Aku tetap memilih tipe orang yang salah sebab aku tidak banyak mengetahui tentang itu (kepribadian orang) dan yang menjadi masalah sebenarnya adalah aku merasa menjadi sebuah kegagalan karena dengan jelas membuat keputusan yang sangat salah dan aku merasa perusahaan bisa mendapatkan (CEO) yang lebih baik," jelas Hastings seperti dikutip dari FOX Business, Jumat (26/3/2021).

Hastings bahkan dua kali meminta dewan direksi Pure Atria untuk mencari penggantinya sebagai CEO baru. Namun, dua kali pula dewan direksi tersebut mengatakan bahwa lebih baik Hastings yang melakukan kesalahan-kesalahan itu ketimbang orang lain mengambil risiko tersebut.

Pada 1997, Pure Atria dijual ke kompetitor terbesarnya, Rational Software lantaran perusahaan tidak berhasil mencapai targetnya.

"Itu bagaikan sebuah pendaratan yang mulus ketika mungkin saja akhir lebih buruk bisa saja terjadi," kata Hastings.

Baca Juga: Kisah Eks Pencuci Piring yang Sukses Jadi Konglomerat Dunia

2. Mengubah sikap

Kisah Reed Hastings, Pendiri Netflix yang Tidak Ingin Jadi CEOvanityfair.com

Setelah selesai di Pure Atria, Hastings lalu berkontemplasi dan pada akhirnya mendirikan Netflix bersama rekannya Marc Randolph. Netflix kemudian menjadi sarana 'penebusan' dosa yang dia lakukan selama di Pure Atria.

"Aku harus memulainya kembali sebagai seorang CEO (di Netflix). Di perusahaan pertama, aku merupakan seorang yang sangat berorientasi terhadap produk, tetapi bukan seorang CEO yang baik. Aku mungkin bersungguh-sungguh, tetapi naif dan kemudian di perusahaan kedua ini karena harus memulai kembali, aku harus menjadi lebih bijaksana," ucap Hastings.

3. Mendirikan Netflix

Kisah Reed Hastings, Pendiri Netflix yang Tidak Ingin Jadi CEO(Ilustrasi tampilan halaman depan Netflix) IDN Times/Santi Dewi

Hastings bersama Randolph mendirikan Netflix pada 1997 atau pada tahun yang sama ketika Hastings menjual Atria Pure.

Pendirian Netflix tak terlepas dari insting jeli Hastings dalam melihat pasar. Kala itu, pada 1997, Hastings didenda sebesar 40 dolar Amerika Serikat (AS) lantaran telat mengembalikan kaset film Apollo 13 yang dia sewa.

"Aku mengingat jumlah dendanya karena aku merasa malu waktu itu. Kala itu zamannya masih kaset VHS dan itu membuatku berpikir bahwa ada peluang pasar yang besar di industri film. Jadi aku mulai mencari ide tentang bagaimana menciptakan sebuah bisnis rental film melalui mail (surat)," ungkap Hastings.

Netflix kemudian mengawali debutnya situs penjualan dan penyewaan DVD pada 1998. Layanan berlangganan Netflix kemudian muncul setahun berikutnya atau pada 1999.

4. Sempat ingin menjual Netflix

Kisah Reed Hastings, Pendiri Netflix yang Tidak Ingin Jadi CEOpixabay.com/Jade87

Baca Juga: Kisah John Paul DeJoria, Eks Gelandangan yang Jadi Konglomerat Dunia

Dalam masa-masa sebelum layanan streaming digital menjadi sebuah hal biasa dalam industri perfilman, Netflix bersaing ketat dengan Blockbuster, sebuah merk ritel yang lama mendominasi pasar penyewaan film.

Hastings bahkan sempat menjual Netflix ke Blockbuster pada tahun 2000. Kala itu, Hastings dan Randolph tidak dapat membendung kesulitan yang terjadi di Netflix. Mereka kehilangan banyak uang dan di sisi lain mereka juga harus bertahan.

Keduanya kemudian menawarkan 49 persen saham Netflix ke Blockbuster dengan harga 50 juta dolar AS. Dengan begitu, Hastings berharap Netflix nantinya akan menjadi lini bisnis penyewaan film daring dari Blockbuster.

Namun, Blockbuster enggan dengan penawaran tersebut lantaran tak yakin dengan masa depan perfilman online atau layanan streaming film

5. Mulai bangkit

Kisah Reed Hastings, Pendiri Netflix yang Tidak Ingin Jadi CEOIlustrasi Netflix (IDN Times/Dwifantya Aquina)

Penolakan tersebut justru membuat Hastings semakin yakin bahwa Netflix bakal menjadi pemain besar dalam industri perfilman digital. Segala upaya dilakukan untuk terus mempromosikan Netflix dengan penawaran harga yang murah dan efisien.

Sebagai langkah awal untuk membuat Netflix lebih besar, Hastings memutuskan untuk go public pada 2002. Kala itu, Netflix hanya memiliki 600 ribu pelanggan di seluruh AS dan meningkat tajam setelah beberapa tahun go public.

Pada 2005, pengguna bulanan Netflix melonjak hingga lebih dari 4,5 juta orang dan kemudian lima tahun berselang, angin berubah arah. Blockbuster mulai meredup, sedangkan Netflix tumbuh dengan 16 juta pengguna bulanan.

Jelang akhir 2010, Blockbuster yang menolak tawaran dari Hastings mengalami kebangkrutan imbas dari utang, kerugian, dan kekalahan atas persaingan dengan layanan streaming on demand seperti Netflix dan Redbox.

Hastings dan Netflix pun meraih kejayaannya kini seiring dengan semakin berkembangnya teknologi. Hingga akhir kuartal 2020 lalu, Netflix tercatat memiliki 203,67 juta pelanggan di seluruh dunia dan diprediksi akan terus bertambah kendati kini persaingan semakin ketat lewat hadirnya beberapa platform layanan streaming seperti Apple TV, Disney+, Amazon Prime, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Kisah Khalil Rafati, Mantan Pecandu yang Kini Sukses Jualan Jus

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya