Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Jakarta, IDN Times - Pemerintah dinilai perlu mencabut tarif batas atas dan tarif batas bawah tiket pesawat. Sebab, hal itu sangat merugikan konsumen.

"Tarif batas atas dan tarif batas bawah hanya akan membuat harga tiket mahal di off season atau musim-musim sepi," ungkap Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nawir Messi.

1. Pencabutan tarif batas atas dan bawah bisa mengembalikan pasar maskapai

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal

Menurut Nawir, hal itu akan mengubah pola konsumsi masyarakat untuk membeli tiket penerbangan. Masyarakat akan semakin kesulitan untuk berhemat dengan cara melakukan pembelian di bulan-bulan sebelum tanggal keberangkatan. Sebab, harganya akan tidak jauh berbeda dan cenderung masih mahal.

"Pencabutan tarif batas atas dan bawah juga diharapkan mampu mengembalikan pasar maskapai domestik agar semakin kompetitif," kata Nawir.

2. Diduga terjadi penyesuaian harga

Ilustrasi pesawat Garuda Indonesia. (IDN Times/Holy Kartika)

Menurut Nawir, masih mahalnya harga penerbangan maskapai yang ada saat ini diduga akibat terjadinya penyesuaian-penyesuaian harga. Hal itu menyebabkan hilangnya kompetisi di pasar maskapai domestik. Penyesuaian itu terlihat dari pola perubahan harga penerbangan.

"Satu maskapai menaikkan harga, maskapai lain mengikuti dengan menaikkan harga. Sebaliknya, satu maskapai menurunkan, satu lagi akan ikut menurunkan," kata Nawir.

3. Praktik penyesuaian harga terjadi di beberapa kasus persaingan

IDN Times/Gregorius Aryodamar P

Nawir mengungkapkan, praktik penyesuaian terjadi di beberapa kasus persaingan. Penyesuaian yang tidak dikomunikasikan biasa disebut sebagai praktik price leadership. Namun, penyesuaian yang dikomunikasikan disebut sebagai kartel. Pada umumnya, pemain di pasar akan merebutkan konsumen melalui strategi bisnisnya.

"Jika ada satu pemain yang menaikan harga, biasanya akan direspons oleh pesaingnya dengan cara menjaga harga atau bahkan menurunkan harganya. Strategi ini ditempuh agar konsumen dapat berpindah. Itu jika ada kompetisi di pasar," katanya.

4. Maskapai AirAsia mengalami diskriminasi

Maskapai AirAsia pernah melayani rute Lombok - Perth pada 2019 lalu. (IDN Times/ Helmi Shemi)

Oleh sebab itu, kata Nawir, mengundang maskapai asing yang masuk tidak akan banyak mengubah keadaan saat ini. Bahkan, saat ini sudah ada maskapai asing yang beroperasi di Indonesia seperti AirAsia Indonesia. Namun, hal tersebut tidak mengubah harga dari maskapai domestik lainnya. Selain hanya diberikan rute domestik yang terbatas, juga terjadi diskriminasi di dalam pasar terhadap maskapai tersebut.

"Adanya kerja sama antara travel agent dan maskapai domestik adalah bentuk diskriminasi di dalam pasar yang membuat AirAsia Indonesia semakin tersingkirkn dan tidak dapat berkompetisi dengan pasar maskapai di Indonesia. Saat ini bisa kita lihat di beberapa travel agent yang menggunakan aplikasi, tidak ada AirAsia Indonesia. Kini AirAsia Indonesia terpaksa berjualan menggunakan platform yang mereka miliki sendiri," ungkap Nawir.

5. KPPU perlu mengaudit joint operation 7 maskapai

Foto hanya ilustrasi. (ANTARA FOTO/Wira Suryantala)

Nawir menambahkan, masalah lain terkait grouping atau praktik joint operation dari 7 maskapai saat ini. Seharusnya, 7 maskapai itu sudah cukup untuk memunculkan iklim kompetisi yang sehat. Namun, justru praktik grouping tersebut yang berpotensi menimbulkan terjadinya upaya penyesuaian harga.

"KPPU perlu melihat apakah joint operation maskapai saat ini sudah legal dan apakah dapat memengaruhi kompetisi di pasar maskapai domestik. Perlu ada audit mendalam mengenai joint operation ini," kata Nawir.

Editorial Team