Ilustrasi pertumbuhan. (IDN Times/Arief Rahmat)
Ariston merinci beberapa faktor eksternal yang menekan rupiah, yakni eskalasi keteganagn geopolitik di kawasan Timur Tengah karena Israel, Ukraina, dan Rusia.
Selanjutnya ada juga faktor sikap Federal Reserve (the Fed) yang mengungkapkan tidak akan terburu-buru atau lebih berhati-hati untuk memangkas suku bunga acuannya. Hal ini ditopang oleh data ekonomi AS yang masih cukup solid dan berpotensi masih bisa mengerek inflasi.
The Fed saat ini masih menahan suku bunga acuan di level 5,25 persen hingga 5,5 persen. Di sisi lain, laju inflasi AS pada Februari secara tahunan (yoy) masih melonjak di level 3,2 persen dibandingkan bulan sebelumnya dan konsensus pasar sebesar 3,1 persen.
"Ketegangan geopolitik ini bisa merembet ke perekonomian global, yaitu menimbulkan gangguan suplai sehingga meningkatkan inflasi dan memicu pelambatan ekonomi global. Ini menyebabkan pelaku pasar masuk ke aset aman di dollar AS dan juga emas," ucapnya.
Menurutnya, sikap the Fed Ini menyebabkan yield obligasi AS masih berada di level tinggi sehingga masih menarik bagi pelaku pasar untuk berinvestasi di aset-aset AS. Terlebih, ada isu Pilpres AS dimana ada proyeksi Donald Trump akan menang bila dihadapkan dengan Biden.
"Dolar berpotensi menguat bila Trump berkuasa karena kebijakan Trump yang US centric," ucap Ariston.