Sejarah Rokok Kretek di Indonesia

Jakarta, IDN Times - Dalam beberapa hari ke belakang, pembahasan soal rokok menjadi pembicaraan hangat di media sosial. Hal itu tak terlepas dari beredarnya sebuah surat yang dikirimkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kepada Pendiri Bloomberg Philanthropies, Michael Bloomberg.
Surat tersebut menjadi viral lantaran diunggah oleh beberapa akun seperti @KomunitasKretek, @rokok_indonesia, dan @boleh_merokok. Surat yang diteken Anies pada 4 Juli 2019 itu memiliki beberapa poin di antaranya rasa terima kasih kepada Bloomberg yang telah membantu Jakarta tergabung dalam Kemitraan Kota Sehat bersama dengan 54 kota lainnya pada 2017 silam.
Selain itu, Anies juga menginformasikan kepada Bloomberg bahwa Jakarta telah berhasil bebas 100 persen dari iklan-iklan rokok yang ditampilkan di bilboard dan pihaknya akan menghapuskan iklan rokok di dalam ruangan. Surat tersebut pun dianggap sebagai upaya Anies meminta dana ke Bloomberg untuk menjalankan program terkait larangan rokok di Jakarta.
"Surat cinta Anies Baswedan kepada Bloomberg adalah kebijakan yang kurang pas untuk pemimpin sekelas gubernur. Terkesan tidak ada etika. Apalagi tertera jelas di dalam suratnya untuk menawarkan kerjasama program yang berkelanjutan," tulis Komunitas Kretek di akun Twitter-nya, seperti dikutip IDN Times, Senin (4/10/2021).
Semenjak surat itu viral, pembahasan terkait rokok semakin masif di media sosial. Banyak pihak yang pro rokok menyampaikan pendapatnya dan tak sedikit pula pihak kontra rokok mengutarakan opini-opininya.
Namun, terlepas dari itu, bagaimana sebenarnya sejarah rokok kretek di Indonesia dari dulu hingga saat ini? Berikut ulasannya seperti yang IDN Times rangkum dari situs resmi Komunitas Kretek.
1. Berawal dari tembakau yang dibawa Portugis ke Indonesia
Kehadiran tembakau pertama kali di Indonesia adalah pada abad ke-17 atau sekitar tahun 1600-an. Kala itu, para pedagang Portugis yang datang ke Pulau Jawa membawa tanaman tembakau untuk ditanam di tanah Jawa
Ratusan tahun setelahnya, Pemerintahan Kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Cornelis de Houtman membangun perkebunan tembakau di Banten. Kemudian, Deli Maatschappij yang menjadi sentra tembakau di Deli, Sumatera Utara didirikan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda pada 1800-an.
Setelah itu, budaya menanam tembakau mulai berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejalan dengan hal tersebut, tembakau juga banyak dibudidayakan sebagai tanaman ekspor lewat program tanam paksa yang diberlakukan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda.
Tembakau pun menjadi komoditas dengan daya jual tinggi di pasar dunia dan terus dijadikan andalan sumber pemasukan Pemerintah Kolonial Belanda. Puluhan tahun kemudian, penanaman tembakau mulai masif dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur akibat kultur yang sudah mendarah daging sejak zaman penjajahan.
Pada abad ke-19, produk bernama kretek pun ditemukan dengan menggabungkan tembakau dan cengek sebagai bahan rokok jenis baru. Hal itu yang mengawali munculnya kretek dan bertahan terus sampai sekarang.