Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20251017-WA0000.jpg
Presiden Prabowo Subianto (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Intinya sih...

  • Sektor manufaktur lesu: Pemerintah dinilai perlu fokus pada sektor manufaktur padat karya untuk menyerap tenaga kerja muda.

  • Serapan belanja negara masih lemah: Belanja negara terealisasi hanya 63,4% dari outlook, dengan belanja pemerintah pusat turun 1,6% (yoy).

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Memasuki satu tahun masa pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka, isu ekonomi menjadi salah satu sorotan utama publik. Pemerintah berupaya menjaga laju pertumbuhan di tengah tekanan global yang masih bergejolak.

Sejumlah lahgkah strategis telah digulirkan, mulai dari hilirisasi industri, optimalisasi belanja negara, hingga stimulus ekonomi bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dan sektor pangan. Namun, meski berbagai program tersebut dijalankan, hasilnya dinilai belum sepenuhnya memuaskan.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, hilirisasi memang berperan penting dalam meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk Indonesia di pasar global. Namun, ia menyoroti dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja masih terbatas.

“Hilirisasi tentu penting untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk Indonesia di pasar global, tetapi kita juga harus ingat bahwa dampak penyerapan tenaga kerja dari sektor ini masih relatif terbatas,” ujar Yusuf kepada IDN Times, Jumat (17/10/2025).

1. Sektor manufaktur lesu

Ilustrasi karyawan manufaktur dalam pabrik (unsplash/Remy Gieling)

Sektor manufaktur yang selama ini menjadi penopang ekonomi justru menunjukkan tanda-tanda lesu. PMI manufaktur sempat anjlok ke 46,7 poin pada April 2025, level terendah sejak pandemik COVID-19. Bila mengacu data Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Oktober 2025 turun ke level 51,8 poin dari level 53,7 poin di bulan sebelumnya.

IHS Markit menekankan, hambatan pasokan dan tekanan biaya untuk sektor manufaktur Indonesia masih ada, di mana waktu tunggu pesanan terus diperpanjang sehingga menyebabkan penurunan inventaris.

Menurut Yusuf, pemerintah perlu memperluas fokus kebijakan ke sektor manufaktur padat karya, seperti tekstil, alas kaki, serta makanan dan minuman. Sektor-sektor ini dinilai memiliki potensi besar dalam menyerap tenaga kerja, terutama dari kalangan muda.

“Dengan mendorong pertumbuhan industri padat karya, kita tidak hanya memperkuat basis manufaktur nasional, tetapi juga membantu mengatasi pengangguran usia muda dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif serta berkualitas,” tuturnya.

2. Serapan belanja negara masih lemah

ilustrasi APBN (IDN Times/Aditya Pratama)

Dari sisi makroekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat melambat pada kuartal I-2025, turun ke 4,87 persen (year on year/yoy), sebelum kembali meningkat menjadi 5,1 persen (yoy) di kuartal II.

Meski menunjukkan perbaikan, tantangan pada akhir tahun masih cukup besar. Salah satunya adalah rendahnya realisasi belanja negara dan lemahnya penyerapan anggaran di sektor produktif. Yusuf menilai, kondisi tersebut menandakan mesin pertumbuhan ekonomi masih belum bekerja optimal.

“Belanja pemerintah seharusnya bisa menjadi katalis utama untuk memperkuat permintaan domestik dan mendorong investasi produktif,” ujarnya.

Di sisi lain, pemerintah juga berupaya menggerakkan ekonomi dari sisi konsumsi rumah tangga melalui kebijakan stimulus sosial. Serapan yang rendah tercermin dari belanja negara terealisasi sebesar Rp2.234,8 triliun atau 63,4 persen dari outlook, namun masih terkontraksi 0,8 persen (yoy).

Secara lebih rinci, belanja pemerintah pusat tercatat Rp1.589,9 triliun atau turun 1,6 persen (yoy), terdiri atas belanja K/L sebesar Rp800,9 triliun, belanja non-K/L sebesar Rp789 triliun, dan transfer ke daerah Rp644,9 triliun.

3. Kinerja ekonomi kuartal II tak sesuai kondisi riil

Ilustrasi APBN (IDN Times/Arief Rahmat)

Hal yang sama diungkapkan oleh Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda yang mempertanyakan hasil pertumbuhan ekonomi kuartal II yang mencapai 5,12 persen (yoy), setelah merosot tajam di kuartal I. Laju ekonomi pun dinilainya tidak sesuai dengan kondisi rill di lapangan.

“Indikator lain justru menunjukkan ekonomi sedang tidak baik. Jadi, angka 5,12 persen itu tampak tidak sejalan dengan kondisi riil di lapangan,” ujarnya.

Kemudian kondisi daya beli masyarakat juga tertekan. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun ke 115 pada September 2025, terendah sejak April 2022.

Pelemahan ini berdampak pada stagnasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya bergerak di kisaran 4,97–4,98 persen, tidak mampu menembus 5 persen. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Editorial Team