Sederet Hal yang Bisa Terimbas jika Kemasan Rokok Polos Diterapkan

Intinya sih...
- Penanda kepatuhan perusahaan rokok dengan pencantuman merek pada kemasan.
- Rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek merugikan perusahaan pemilik merek.
- FCTC tidak bisa diaplikasikan di Indonesia karena kontribusi besar industri tembakau pada perekonomian negara.
Jakarta, IDN Times - Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta menyoroti rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes), sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/204).
Widyanta mengatakan pencantuman merek pada kemasan rokok merupakan salah satu penanda bagi perusahaan rokok untuk menunjukkan kepatuhannya terhadap aturan yang telah diterapkan dan menjaga kualitas produknya.
Apabila kemasan rokok diseragamkan menjadi polos, maka aturan ini akan merugikan perusahaan pemilik merek yang saat ini beroperasi secara patuh dan legal. Hal ini dapat berimbas ke berbagai aspek sosial, termasuk semakin mendorongnya peredaran rokok ilegal yang saat ini sudah marak terjadi.
“Aturan ini akan mempersulit pemerintah untuk mengidentifikasi pelanggaran yang ada di lapangan. Banyak aspek-aspek lain yang akan sulit dinilai, seperti apakah perusahaan tersebut patuh dengan aturan atau tidak, bahkan tidak bisa dicek produknya asli atau tidak. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga tampak tidak mempertimbangkan aspek-aspek dari Kementerian lain, sehingga aturan ini menjadi mustahil untuk dilakukan,” tutur Widyanta, dikutip Jumat (25/10/2024).
1. FCTC tidak bisa diaplikasikan di Indonesia
Widyanta melanjutkan, rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek yang mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) menjadi bukti adanya upaya untuk mematikan industri tembakau nasional di Indonesia.
Padahal, FCTC tidak bisa diaplikasikan di dalam negeri karena Indonesia merupakan produsen tembakau yang besar dan memiliki ekosistem pertembakauan kompleks mulai dari pertanian, industri olahan, ketenagakerjaan, hingga kontribusi terhadap pendapatan negara yang jumlahnya signfikan.
“Harusnya, sebagai salah satu industri yang menghasilkan cukai yang besar, industri tembakau mendapatkan proteksi dari pemerintah,” kata Widyanta.
2. Aturan kemasan rokok polos tanpa merek tidak bisa diterapkan di RI
Widyanta pun meminta agar aturan kemasan rokok polos tanpa merek tidak diterapkan di Indonesia. Alasan lain yang dilihat Widyanta sehingga meminta hal tersebut adalah Rancangan Permenkes masih memiliki banyak kelemahan untuk dijalankan.
"Bahkan, ketidakadilan perumusan kebijakan sudah terlihat sejak awal digagasnya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan," kata dia.
3. Sebuah kebijakan mestinya menjamin keadilan publik
Menurut dia, suatu kebijakan itu harusnya menjamin keadilan publik karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Oleh karena itu, kebijakan publik itu semestinya dibuat secara hati-hati dan melibatkan semua pihak yang terkait, bukan dilakukan secara ugal-ugalan seperti proses perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan dan Rancangan Permenkes yang digagas oleh Kementerian Kesehatan.
“Harusnya, kebijakan itu mengakomodir kepentingan publik, termasuk kepentingan pelaku usaha di industri tembakau. Industri tembakau dan tenaga kerja di dalamnya juga bagian dari rakyat Indonesia. Apalagi, industri tembakau juga kontribusinya besar pada penerimaan negara melalui cukai,” tutur Widyanta.