ilustrasi uang Rupiah. (IDN Times/Umi Kalsum)
Sri Mulyani mengatakan yang membuat Indonesia bisa menghadapi krisis keuangan global 2008 dikarenakan Indonesia belajar dari krisis moneter 1998. Dia mengatakan saat krisis global terjadi, Indonesia sudah mengubah rezim sistem nilai tukarnya menjadi floating exchange rate, dan juga melakukan reformasi kebijakan makroprudensial, salah satunya menetapkan Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga independen.
"Lalu, macro policy-nya sebenarnya sudah prudent, jadi fiskal sudah menggunakan Undang-Undang (UU) Keuangan Negara, defisit di bawah 3 persen, utang mulai turun, monetary policy-nya independen," kata dia.
Meski begitu, kala itu, Indonesia belum maksimal dalam mengawasi perbankan. Pasalnya, BI sebagai bank sentral juga masih bertugas mengawasi perbankan.
Oleh karena itu, Indonesia kembali melakukan reformasi keuangan, yakni melahirkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan adanya OJK, BI melepas fungsi pengawasan banknya. Hal ini dilakukan karena pemerintah menyadari lembaga keuangan baik bank maupun nonbank bisa memicu pertumbuhan di negara, tapi bisa juga menyebabkan krisis seperti kasus Lehman Brothers.
"Begitu terjadi krisis yang dipicu oleh Lehman Brothers, dan yang terjadi itu di episenturum keuangan yaitu AS, spill over-nya itu menjadi ke seluruh dunia dalam bentuk kepanikan global. Nilai tukar bergerak, spike, ini sekali lagi itu memukul neraca terutama untuk highly leverage," paparnya.
"Jadi waktu itu terjemahannya adalah orang khawatir karena kita masih punya memori krisis perbankan. Dan orang khawatir apakah nilai tukar bergerak, orang khawatir apakah ada bank yang akan jatuh," lanjut Sri Mulyani.