Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi transisi energi (coaction.id)
Ilustrasi transisi energi (coaction.id)

Jakarta, IDN Times - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menyebut tantangan terbesar dalam mekanisme transisi energi yakni membangun infrastruktur energi dengan prinsip adil dan terjangkau.

Saat ini, kata dia, banyak negara berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon, tetapi membutuhkan energi yang sangat mahal.

“Di Indonesia, 62 persen energi kita berasal dari batu bara dan lebih dari 90 persen sebenarnya adalah bahan bakar fosil. Kami ingin meningkatkan energi terbarukan menjadi 23 persen, terlebih Indonesia memiliki energi panas bumi yang besar," ungkap Menkeu pada acara Munich Security Conference bertajuk Power Shifts Geopolitics of the Green Transation, di Jerman, Jumat dini hari (17/2/2023).

1. Pembiayaan jadi elemen penting untuk transisi energi

ilustrasi pendanaan (pexels.com/karolina-grabowska/)

Selanjutnya, Menkeu juga mengungkapkan, pembiayaan menjadi elemen yang sangat penting di dalam mekanisme transisi energi. Dengan demikian, transisi dari energi berbasis fosil ke energi terbarukan memerlukan kekuatan dari sisi keuangan dan teknologi.

“Berapa biayanya dan siapa yang harus membayar? Apa insentif untuk membayar itu jika ada? Apakah akan disubsidi? Apakah pemerintah memiliki kemampuan untuk mensubsidi transisi ini? Ketika Anda dapat menghitung berapa biayanya, dari mana pembiayaan ini berasal? Apakah itu publik, lembaga multilateral, sektor bilateral atau swasta? Berapa biaya untuk setiap sumber pembiayaan? Apalagi dengan situasi saat ini, suku bunga semakin tinggi, maka cost of fund akan semakin mahal,” terang Sri Mulyani.

Selain itu, menurut dia, energi terbarukan juga membutuhkan investasi, modal, dan teknologi yang berbeda di setiap negara.

“Perubahan iklim adalah masalah publik global dan itulah mengapa tidak dapat diselesaikan sendiri oleh masing-masing negara. Kita berbicara tentang komoditas yang sama yaitu CO2, karbon. Tapi sekarang jika Anda melihat dunia, harga karbon berbeda. Beberapa negara sudah menerapkan pasar karbon dengan harga yang berbeda, bahkan beberapa negara tidak memiliki pasar karbon,” ungkapnya.

2. Pemerintah desain pensiun dini 3 PLTU

Ilustrasi Pembangunan PLTU (IDN Times/Dokumen)

Lebih lanjut, Sri Mulyani mengatakan, saat ini Indonesia tengah mencoba menerapkan pemensiunan dini tiga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Hal ini dinilai sebagai langkah konkret Indonesia untuk mengurangi emisi karbon.

Adapun langkah awalnya adalah dengan melakukan pengurangan kontrak secara bertahap terhadap Individual Power Plant (IPP). PLTU batu bara sesuai kontrak harus beroperasi selama 30 tahun sehingga akan diperpendek durasi kontraknya.

"Kalau mau mengurangi emisi CO2, harus potong setengahnya menjadi 15 tahun," ucapnya.

3. Presidensi G20 lakukan langkah nyata

Sri Mulyani dalam Presidensi G20 Indonesia (dok. Presidensi G20 Indonesia)

Tak hanya itu, ujar dia, jika sebuah pemerintahan tidak memiliki posisi fiskal yang sehat, maka akan mengalami kesulitan.

Dengan demikian, pada Presidensi G20 tahun 2022 pemerintah melakukan langkah nyata dengan meluncurkan mekanisme transisi energi. Hal ini, kata Sri, mendapatkan perhatian dari banyak negara termasuk Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang.

“Itu sebabnya selama G20 di Indonesia, mereka mengumumkan bahwa kemitraan transisi energi berjanji akan dialokasikan hingga 20 miliar dolar untuk Indonesia dalam rangka mendukung transisi ini,” tutur Menkeu.

Editorial Team