Ilustrasi pekerja pabrik. (ANTARA FOTO/Siswowidodo)
Selain itu, volume produksi IHT menunjukkan trend penurunan dan juga penurunan pertumbuhan produksi. Data Direktorat Bea cukai menunjukkan volume produksi turun sekitar 30 milyar batang dari tahun 2019.
Pertumbuhan volume produksi IHT dipengaruhi oleh permintaan terhadap produk tersebut. Berdasarkan hasil fitting test terhadap data, nilai koefisien harga rokok Gol. 1 terhadap konsumsi rokok memiliki hubungan negatif yang paling tinggi di antara golongan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok dapat memberikan dampak penurunan terbesar pada golongan 1.
Hal itu, kata dia, selaras dengan data Direktorat Jenderal Bea Cukai (2021) yang menunjukkan bahwa penurunan produksi terbesar terjadi di Gol. 1 ketika terjadi kenaikan harga rokok di tahun 2020. Di sisi lain, elastisitas harga rokok pada Gol. 3 menunjukkan hubungan positif, sehingga kenaikan harga rokok mendorong kenaikan volume produksi rokok paling besar di Gol. 3.
“Fenomena tersebut juga menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok tidak akan serta merta menurunkan konsumsi rokok karena konsumen akan beralih pada jenis rokok yang lebih murah,” terangnya.
Hasil kajian juga menyatakan kenaikan harga rokok dan tarif cukai yang eksesif bedampak pada penurunan pertumbuhan penerimaan CHT karena terjadi penurunan volume produksi akibat penurunan permintaan. Kenaikan harga rokok di golongan 1 menyebabkan terjadinya penurunan volume produksi rokok golongan 1 karena konsumen berpindah pada jenis rokok yang lebih murah (Gol.2 dan Gol.3).
“Oleh sebab itu, kenaikan tarif cukai sebesar 23 persen dan kenaikan HJE sebesar 35 persen di tahun 2020 (PMK 152/2019) menyebabkan penurunan pertumbuhan penerimaan CHT di tahun 2020. Penurunan penerimaan CHT terbesar terjadi pada rokok golongan 1,” jelas Prof. Candra.
Hasil kajian juga menunjukkan, harga rokok telah melewati titik maksimum untuk menurunkan angka prevalensi merokok. Kenaikan harga rokok hanya berdampak pada berkurangnya volume produksi rokok legal, namun tidak konsumsi secara agregat, mengingat masih adanya peredaran rokok illegal.
“Pada simulasi tersebut jumlah pabrik rokok turun hingga tersisa 831 pabrik karena adanya penurunan volume produksi akibat adanya penurunan permintaan terhadap rokok legal,” ujarnya.