Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Harga minyak goreng kemasan premium di Pasar Palmerah Rp20.000/liter. (IDN Times/Vadhia Lidya)

Jakarta, IDN Times - Tiga perusahaan yang tersandung kasus korupsi minyak goreng mencatatkan kerugian hingga Rp1,64 triliun. Tiga perusahaan itu adalah Permata Hijau Grup, PT Musim Mas, dan juga Wilmar.

Rinciannya, Permata Hijau mengaku rugi hingga Rp140,82 miliar. Lalu, PT Musim Mas mengaku rugi hingga Rp551,58 miliar. Adapun Wilmar mencatatkan kerugian fantastis, yakni Rp947,37 miliar.

1. Pengusaha sawit merasa dirugikan dengan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah

Ilustrasi minyak goreng (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Kuasa Hukum Permata Hijau Grup dari AALF Legal & Tax Consultans, Marcella Santoso, mengatakan kerugian yang diderita perusahaan berasal dari biaya yang sudah dikeluarkan untuk memproduksi minyak goreng sesuai arahan pemerintah.

Setelah terpenuhi kewajiban penyediaan dalam negeri atau Domestik Market Obligation (DMO), pemerintah tetap tak menerbitkan persetujuan ekspor sesuai kuota yang diberikan. Hal serupa juga dialami PT Musim Mas.

Adapun Wilmar mengaku aturan pemerintah yang berubah-ubah dalam waktu singkat memberi andil besar bagi kerugian perusahaan.

"Itu belum termasuk dengan biaya mobilisasi minyak goreng ke Indonesia timur," tutur Marcella dikutip dari keterangan resmi, Selasa (17/10/2023).

2. Tiga perusahaan sawit jadi tersangka

Ilustrasi Gedung Kejaksaan Agung (dok. Kejagung)

Kejaksaan Agung (Kejagung) sendiri sudah menetapkan tiga perusahaan sawit tersebut menjadi tersangka. Marcella mengatakan, kebijakan pemerintah yang berubah sangat cepat dalam waktu yang dekat adalah penyebabnya.

"Sedihnya kami itu, kami menjalankan program pemerintah, demi merah putih malah dibeginikan," tutur Marcella.

Terpisah, menurut Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, pemerintah wajib memberikan kebijakan yang jelas dan kepastian hukum bagi pengusaha yang berinvestasi di Indonesia.

"Pemerintah membuat aturan tersebut guna mengatasi kelangkaan minyak goreng di mana-mana kan? Dalam situasi itu, pengusaha mungkin juga mau ambil kesempatan untung juga, namanya juga pengusaha. Tapi sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pengusaha yang berinvestasi di Indonesia," kata Agus.

3. GAPKI sebut pengusaha sawit 'trauma' ikut program pemerintah

ilustrasi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Perubahan kebijakan dimulai dari terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan No 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, yang ditetapkan pada 18 Januari 2022. Melalui Permendag itu, pemerintah memberi subsidi minyak goreng Rp3.800/liter.

Kemudian, pada Februari 2022, terbit kebijakan DMO dan DPO dengan tiga harga eceran tertinggi (HET), yakni Rp11.500/liter untuk minyak goreng curah, Rp13.500/liter untuk kemasan sederhana, dan Rp14.000/liter untuk kemasan premium.

Ada juga Surat Edaran No. 9/ Tahun 2022 Tentang Relaksasi Penerapan Harga Minyak Goreng Sawit Minyak Goreng Kemasan Sederhana dan Kemasan Premium.

Pada Maret 2022 terbitlah Permendag No. 6 Tahun 2022 Tentang Penetapan Harga Tertinggi Minyak Goreng Sawit. Namun, aturan itu kemudian dicabut dan diterbitkan Permendag No. 11 Tahun 2022 Tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Curah untuk menyediakan minyak goreng murah, antara lain melalui kebijakan satu harga (Rp14.000/liter).

Lalu masih pada Maret 2022, muncul lagi kebijakan minyak goreng curah bersubsidi dengan HET Rp14.000/liter.

Atas dasar perubahan yang sangat cepat itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono membeberkan 'trauma' bagi pengusaha sawit untuk terlibat dalam program pemerintah.

"Ke depan, perusahaan akan sangat berhati-hati agar masalah ini tidak terjadi lagi. Artinya setiap ada kebijakan seperti yang lalu perusahaan akan melihat dulu dampak ke depan bagi perusahaan tersebut," kata Eddy.

Menurut Eddy, ke depannya program yang dijalankan tidak akan bisa cepat dieksekusi karena perusahaan swasta lebih berhati-hati sebelum menjalankan program pemerintah.

"Apabila terjadi keraguan perusahaan akan mendiskusikan terlebih dahulu dengan pemerintah artinya implementasinya tidak bisa cepat karena kehati-hatian perusahaan," ucap dia.

Editorial Team