Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi aplikasi TikTok (pexels.com/BM Amaro)
ilustrasi aplikasi TikTok (pexels.com/BM Amaro)

Intinya sih...

  • Denda 530 juta euro diberikan kepada TikTok karena mengirim data pengguna Eropa ke China tanpa perlindungan memadai dan kurang transparan.
  • Investigasi menemukan pelanggaran terhadap aturan privasi Uni Eropa, termasuk ketidakjelasan dari TikTok terkait negara mana yang menerima data pengguna.
  • TikTok berencana mengajukan banding atas keputusan ini, namun proyek perlindungan data baru mereka, Project Clover, dianggap belum cukup untuk membatalkan denda tersebut.

Jakarta, IDN Times – Regulator perlindungan data Irlandia (DPC) menjatuhkan denda 530 juta euro atau sekitar Rp9,8 triliun kepada TikTok pada Jumat (2/5/2025). Denda ini dijatuhkan karena perusahaan dianggap mengirim data pribadi pengguna Eropa ke China tanpa perlindungan memadai. TikTok juga dinilai tidak transparan soal praktik ini selama dua tahun terakhir.

Investigasi berlangsung sejak 2021 dan menemukan pelanggaran terhadap aturan privasi ketat milik Uni Eropa. Dalam penyelidikan itu, TikTok gagal menjelaskan negara mana saja yang menerima data pengguna. Bahkan, China tidak pernah disebut dalam kebijakan privasi mereka kala itu.

“TikTok gagal memverifikasi, menjamin, dan menunjukkan data pengguna Eropa yang diakses dari China dilindungi setara dengan standar di Uni Eropa,” kata Wakil Komisioner Graham Doyle, dikutip dari ABC News, Sabtu (3/5).

1. TikTok tidak beri informasi akurat selama penyelidikan

ilustrasi aplikasi TikTok (pexels.com/cottonbro studio)

TikTok selama ini mengklaim tidak menyimpan data pengguna Eropa dan Amerika di server China. Namun pada April lalu, perusahaan itu mengaku baru mengetahui sebagian kecil data pengguna Eropa memang tersimpan di China. Fakta itu ditemukan setelah audit internal pada Februari 2025.

Regulator menyebut pernyataan TikTok selama proses penyelidikan tidak akurat. Mereka juga menyatakan akan menindaklanjuti perkembangan ini dan mempertimbangkan langkah regulasi tambahan.

Selama periode pelanggaran antara 2020 dan 2022, TikTok tidak memberitahu pengguna data mereka bisa diakses dari China. Baru pada 2022 mereka memperbarui kebijakan privasinya agar lebih transparan.

2. TikTok akan banding dan andalkan proyek baru

ilustrasi hukum (pexels.com/Pavel Danilyuk)

TikTok menyatakan tidak sepakat dengan keputusan ini dan berencana mengajukan banding. Mereka menyebut putusan tersebut hanya fokus pada masa sebelum Mei 2023, sebelum proyek perlindungan data baru mereka diluncurkan. Proyek itu diberi nama Project Clover.

Lewat Project Clover, TikTok membangun tiga pusat data di Eropa agar data tersimpan lokal. Proyek ini diklaim bernilai 12 miliar euro (sekitar Rp223 triliun) dan diawasi ketat oleh perusahaan keamanan siber NCC Group yang berbasis di Eropa.

“Faktanya, Project Clover punya perlindungan data paling ketat di industri,” kata Christine Grahn dari TikTok.

Ia menilai putusan ini mengabaikan upaya besar TikTok menjaga data pengguna.

3. TikTok klaim tak pernah serahkan data ke otoritas China

ilustrasi privasi (pexels.com/Pixabay)

Dilansir dari Politico, Sabtu (3/5), TikTok menekankan selama ini tidak pernah menerima permintaan dari pemerintah China untuk mengakses data pengguna Eropa. Mereka juga menyatakan tidak pernah memberikan data tersebut ke pihak berwenang China.

Grahn menyebut, keputusan regulator Irlandia bisa jadi preseden berbahaya untuk industri global. Menurutnya, langkah tersebut dapat merugikan daya saing Uni Eropa dan menimbulkan ketidakpastian bagi perusahaan global lain.

TikTok pun diminta untuk sepenuhnya mematuhi aturan Uni Eropa dalam waktu enam bulan ke depan. Regulator Irlandia menyatakan bahwa Project Clover tetap belum cukup untuk membatalkan denda besar tersebut.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team