Ada Gerakan Dedolarisasi, LPS: Dolar AS Tetap Paling Stabil
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, mengatakan, dolar AS masih menjadi mata uang favorit.
Padahal, saat ini muncul wacana dari banyak negara untuk melakukan diversifikasi mata uang selain dolar saat melakukan transaksi bilateral atau dedolarisasi.
"Suplai (dolar) di pasar cukup, dolar simpanan masih cukup baik. Tidak ada gerakan atau pergerakan bahwa kita atau orang-orang akan meninggalkan dolar," tuturnya dalam konferensi pers, Jumat (26/5/2023).
Baca Juga: LPS: Risiko Default Utang AS Ada Untung dan Ruginya
1. Dolar masih jadi mata uang paling stabil di dunia
Ia menjelaskan, hingga saat ini mata uang dolar AS masih menjadi uang paling stabil di dunia. Dia meyakini dolar AS tetap menjadi mata uang dunia yang tidak tergantikan dalam waktu yang lama.
"Saya melihat, sampai sekarang belum ada (mata uang) yang lebih stabil dibanding dolar (AS). Bukan saya promosikan dolar AS, ya!" kata Purbaya.
Tak hanya itu, kata dia, kinerja investasi di pasar mata uang dolar masih normal di tengah merebaknya isu dedolarisasi dan risiko gagal bayar utang.
Baca Juga: LPS: Rentenir Masih Tumbuh Subur di Indonesia
2. Gerakan dedolarisasi bukan hal baru
Purbaya menjelaskan, isu dedolarisasi bukanlah hal baru. Sebab, pada tahun 1990-an isu dedolarisasi sempat muncul ketika ekonomi Jepang tumbuh sangat kuat.
Namun hingga saat ini mata uang yen belum mampu menggantikan dolar AS sebagai mata uang utama dunia.
Editor’s picks
"Waktu China tumbuh kuat isu dedolarisasi tumbuh lagi, yuan diprediksi akan menggantikan dolar, ternyata gak juga. Kalau pengamatan saya, selama ini mata uang yang paling kuat, yang teruji selama hampir 100 tahun lebih, ya, dolar (AS)," terang Purbaya.
Baca Juga: BI Tahan Suku Bunga, Rupiah Menguat Tipis ke Rp14.945 per dolar AS
3. Indonesia telah lakukan dedolarisasi
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengatakan, Indonesia sudah melakukan dedolarisasi terlebih dahulu melalui kebijakan Local Currency Transaction (LCT).
“Memang negara-negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan), itu semakin melakukan diversifikasi ke arah non-dolar. Indonesia sudah menggagas diversifikasi penggunaan mata uang yaitu dalam bentuk LCT atau dengan kata lain dedolarisasi,” ujar Perry belum lama ini.
LCT merupakan penggunaan mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi perdagangan dan investasi. Kemudian, melalui ASEAN payment connectivity yang juga serupa dengan dedolarisasi dengan penggunaan Cross Border QR Payment sebagai diversifikasi mata uang.
Menurutnya, negara di kawasan ASEAN sudah lebih konkret dalam melakukannya. Bahkan Indonesia sudah memperluas kerjasama LCT tidak hanya dengan negara di kawasan ASEAN, tetapi juga diperluas hingga Jepang
“Di ASEAN kami juga sudah bekerja sama dengan Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina. Ini yang kita sebut LCT. Ini akan mengurangi penggunaan dolar dan akan meningkatkan diversifikasi mata uang dalam penyelesaian perdagangan dan investasi antar negara,” ungkap Perry.
4. Transaksi LCT Indonesia-Jepang tembus 957 juta dolar AS
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menjelaskan, transaksi LCT Indonesia dengan Jepang hingga Februari 2023 atau dalam dua bulan tembus 957 juta dolar AS.
Realisasi itu mengalami kenaikan dibandingkan rata-rata tahun 2022 sebesar 350 juta dolar AS per bulan. Sementara jumlah pelakunya atau mitra juga terus meningkat dari 1.740 menjadi 2.014.
“LCT antara Indonesia dengan negara mitra akan semakin meningkat didorong oleh perekonomian China yang membaik dan kerja sama baru dengan Korea Selatan,” ucapnya.
Baca Juga: Indonesia Bisa Jadi Lokomotif Gerakan Dedolarisasi di ASEAN