Bahlil: Utang Kita Sudah Selesai ke IMF

Utang Indonesia ke IMF lunas saat kepemipinan SBY

Jakarta, IDN Times - Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia bercerita bahwa Indonesia pernah mengalami masa kelam saat krisis moneter tahun 1998. Saat itu, Indonesia menjadi 'pasien' IMF, namun kondisi ekonomi justru tidak membaik.

Setelah berupaya untuk keluar dari krisis tersebut, pada 2006 atau di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY), Indonesia berhasil melunasi utang kepada IMF. 

“Utang kita sudah selesai, ya. Maaf. Kita harus terima kasih sama pemerintahan sebelum Pak Jokowi, yaitu di zamannya Pak SBY. Itu berhasil selesaikan utang kita ke IMF," tuturnya dalam konferensi pers, Jumat (30/6/2023). 

1. Paket kebijakan yang diberikan IMF saat krismon justru perlambat ekonomi RI

Bahlil: Utang Kita Sudah Selesai ke IMFilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Aditya Pratama)

Bahlil mengatakan, banyak paket kebijakan ekonomi yang disarankan oleh IMF saat krisis di tahun 1998 justru tidak cocok dengan kondisi Indonesia, sehingga berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional.

Adapun sejumlah kebijakan yang direkomendasikan IMF, di antaranya penutupan industri seperti yang dialami PT Dirgantara, kemudian bantuan sosial ditiadakan, sehingga mendorong pelemahan daya beli masyarakat. Namun nyatanya, semua kebijakan tersebut gagal total.

“Daya beli masyarakat lemah, disitulah cikal-bakal terjadi deindustrialisasi. Kemudian bunga kredit dinaikkan, jadi hampor semua pengusaha kolaps. Kredit-kredit macet asetnya diambil. Apa yang terjadi? Negara kita lambat menuju pertumbuhan ekonomi. Di tahun yang sama, Malaysia menolak rekomendasi IMF,” katanya.

Baca Juga: Bahlil ke IMF: Langit Mau Runtuh pun, Larangan Ekspor Tetap Lanjut

2. IMF tak perlu ikut campur kebijakan Indonesia

Bahlil: Utang Kita Sudah Selesai ke IMFMenteri Investasi Bahlil Lahadalia saat konferensi pers mengenai Hilirisasi Nikel 2023. (IDN Times/Triyan)

Rekomendasi IMF dalam dokumen IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia, yang meminta pemerintah Indonesia menghapus bertahap larangan ekspor nikel dan tidak memperluas kebijakan hilirisasi di komoditas lain, justru mengingatkan Bahlil pada kejadian (rekomendasi kebijakan) oleh IMF disaat krisis moneter lalu. 

Bahlil menilai laporan IMF terhadap Indonesia mengandung standar ganda, karena IMF mengapresiasi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sekaligus inflasi yang terkendali, serta Indonesia juga diapresiasi karena berhasil mencatatkan surplus perdagangan hingga saat ini. Bahkan, IMF juga mendukung tujuan hilirisasi untuk mendorong transformasi struktural dan nilai tambah serta penciptaan lapangan kerja.

Namun di sisi lain, justru IMF meminta Indonesia untuk mempertimbangkan kebijakan penghapusan bertahap pembatasan ekspor nikel dan tidak memperluas pembatasan ke komoditas lainnya.

“Saran saya, dia (IMF) mendiagnosa saja negara-negara yang hari ini lagi susah. Tidak usah campur-campur urus Indonesia,” kata Bahlil.

Meski demikian, Bahlil menghargai pandangan IMF. Namun, ia menegaskan pemerintah tidak akan terpengaruh dan tetap konsisten terhadap kebijakan larangan ekspor komoditas. Diketahui, pemerintah telah melarang ekspor nikel sejak 1 Januari 2020 lalu.

Terbaru, pemerintah resmi melarang ekspor bauksit mulai Juni 2023 serta konsentrat tembaga yang ditargetkan Mei 2024 seiring penyelesaian smelter Freeport dan Amman Mineral.

"Apa kita harus ikuti gaya IMF yang menurut saya tidak pantas kita dengar sebagian. Saran saya, IMF kasihlah rekomendasi kepada negara yang lagi gagal,” katanya.

Baca Juga: Bahlil: Hilirisasi Beri Nilai Tambah Tinggi bagi Indonesia 

3. Dampak positif hilirisasi nikel

Bahlil: Utang Kita Sudah Selesai ke IMFIlustrasi neraca perdagangan. (IDN Times/Mardya Shakti)

Tercatat, ekspor komoditas nikel periode 2017-2018 hanya sekitar 3,3 juta dolar AS per tahun. Namun, begitu penyetopan dilakukan yang dilanjutkan hilirisasi menjadi barang setengah jadi, nilai ekspor naik 10 kali lipat menjadi 30 miliar dolar AS.

Di sisi lain, hilirisasi nikel juga telah merubah defisit perdagangan RI-China menjadi surplus. Berdasarkan datanya, pada 2018 defisit perdagangan RI-China mencapai 18,4 miliar dolar AS, kemudian 2017 turun lagi menjadi 17 miliar dolar AS.

Selanjutnya di tahun 2020 defisit perdagangan dengan China menjadi 7,9 miliar dolar AS, 2021 2,4 miliar dolar AS dan 2022 sebesar 1,8 miliar dolar AS. Kuartal I 2023, nilai perdagangan Indonesia-China justru mencatatkan surplus 1,2 miliar dolar AS.

“Jadi IMF katakan negara kita rugi, ini di luar nalar berpikir sehat saya,” ujarnya.

Lebih lanjut, Bahlil menambahkan, Indonesia juga berhasil mencapai target pendapatan negara dalam dua tahun terakhir. Hilirisasi membantu Indonesia untuk melakukan pemerataan pertumbuhan ekonomi, terutama pada wilayah yang menjadi penghasil utama komoditas tambang.

Sulawesi Tengah kini mencatatkan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 22,3 persen, diikuti Maluku Utara 10,4 persen, dan Sulawesi Tenggara 6,7 persen. Seluruh pertumbuhan tersebut di atas dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional pada level lima persen.

Bahlil mengakui, dalam konteks penerimaan negara untuk pajak ekspor komoditas memang berkurang. Namun, ketika hilirisasi dilakukan, pemerintah mengantongin pendapatan dari Pajak Penghasilan Badan, Pajak Pertambahan Nilai, PPh Pasal 21, serta penciptaan lapangan pekerjaan di dalam negeri.

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya