ilustrasi bendera Amerika Serikat (pexels.com/Andrea Piacquadio)
Saat menjawab pertanyaan anggota DPR Bill Huizenga dari Partai Republik, Powell mengakui ada risiko kenaikan inflasi di akhir tahun. Ia mengatakan bahwa semua peramal profesional di dalam dan luar Fed memperkirakan laju pertumbuhan harga akan meningkat. Data terakhir menunjukkan inflasi tetap di atas target 2 persen Fed, bahkan diperkirakan naik dari 2,5 persen menjadi 2,6 persen pada Mei.
Banyak ekonom memprediksi ekonomi AS akan menghadapi situasi stagflasi, di mana inflasi dan pengangguran sama-sama naik. Kondisi ini bisa menggerus daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Harga minyak yang mahal, tarif tinggi, serta pembatasan imigrasi memberi tekanan negatif pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sekaligus mendorong inflasi.
Dialnsir dari The Guardian, dalam dua hari terakhir, Fed memutuskan mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25 persen hingga 4,5 persen. Mereka ingin melihat dampak dari kebijakan signifikan Trump terhadap data ekonomi sebelum memutuskan pemotongan suku bunga. Akhir tahun lalu, Fed memangkas suku bunga utama sebesar satu persen setelah lebih dari setahun berada di level tertinggi dalam dua dekade.
Wakil Ketua Fed untuk Pengawasan Michelle Bowman menilai suku bunga harus segera diturunkan jika inflasi tetap terkendali. Gubernur Fed Christopher Waller juga menyatakan hal serupa pekan lalu. Powell menegaskan bahwa Fed adalah institusi independen dan keputusannya tidak mempertimbangkan faktor politik.
Sebagian besar ekonom memperkirakan dampak tarif Trump terhadap harga akan mulai terlihat sekitar Juli. Meski begitu, peluang Fed memangkas suku bunga bulan depan masih kecil, dengan prediksi pasar menunjukkan kemungkinan 77 persen suku bunga tetap dipertahankan pada pertemuan 29–30 Juli. Analis di JPMorgan, Goldman Sachs, Barclays, Nomura, dan Deutsche Bank memperkirakan Fed hanya akan menurunkan suku bunga sekali tahun ini, tepatnya pada Desember.