Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bendera Amerika Serikat (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi bendera Amerika Serikat (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Intinya sih...

  • Kebijakan Trump dinilai picu lesunya pasar tenaga Kerja.

  • Sektor-sektor utama mencatat penurunan tajam, termasuk perhotelan, jasa profesional, ritel, dan manufaktur.

  • Revisi tahunan BLS terjebak dalam pusaran politik setelah Trump memecat kepala BLS dan menuduh manipulasi data.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS) Amerika Serikat (AS) melaporkan revisi besar pada Selasa (9/9/2025). Tambahan lapangan kerja untuk periode 12 bulan hingga Maret 2025 dipangkas 911 ribu, jauh lebih rendah dari perkiraan awal. Angka ini berada di ujung atas perkiraan Wall Street yang berkisar 600 ribu hingga 1 juta.

Revisi tersebut menyoroti pelemahan serius pasar tenaga kerja AS. Dalam tiga bulan terakhir, rata-rata hanya tercipta 29 ribu pekerjaan baru per bulan. Tingkat pengangguran kini naik ke 4,3 persen, level tertinggi sejak 2021.

Ekonom Elise Gould dan Ben Zipperer menanggapi laporan itu.

“Angka-angka ini kemungkinan akan membuat marah Presiden Trump dan Gedung Putih yang secara keliru memandang data yang direvisi sebagai manipulasi politik,” tulis mereka dalam laporan, dikutip dari The Guardian.

Pernyataan ini memperlihatkan ketegangan politik terkait tafsir data ekonomi.

1. Kebijakan Trump dinilai picu lesunya pasar tenaga kerja

Donald Trump. (instagram.com/realdonaldtrump)

Para analis menilai lesunya pasar tenaga kerja tidak lepas dari kebijakan tarif dan imigrasi. Kebijakan ini disebut memperlambat pertumbuhan angkatan kerja dan memperburuk iklim usaha. Morgan Stanley mencatat bahwa kebijakan imigrasi terbaru memberi efek mendinginkan pada partisipasi tenaga kerja.

Sektor-sektor utama mencatat penurunan tajam. Perhotelan dan rekreasi turun 176 ribu pekerjaan, jasa profesional dan bisnis berkurang 158 ribu, serta ritel minus 126.200. Pekerjaan di sektor pemerintahan ikut terkoreksi 31 ribu, sementara manufaktur menyusut 78 ribu meski pemerintahan Presiden AS, Donald Trump, menjanjikan kebangkitan industri.

BLS menegaskan angka ini masih bersifat awal. Lembaga itu akan merilis data final pada Februari 2026 setelah menghimpun data tambahan. Perkembangan ini akan terus menjadi sorotan pasar dan analis yang menunggu arah kebijakan ekonomi selanjutnya.

2. Revisi data BLS picu kontroversi politik

ilustrasi pekerja pabrik (pexels.com/Tiger Lily)

Revisi tahunan BLS merupakan prosedur reguler yang menggunakan data tambahan seperti sensus dan asuransi pengangguran. Hal ini tidak menandakan pelanggaran ataupun manipulasi. Namun, revisi kali ini terjebak dalam pusaran politik.

Trump sempat memecat kepala BLS, Erika McEntarfer, usai laporan pekerjaan Agustus menunjukkan pelemahan. Ia menuding tanpa bukti bahwa McEntarfer memalsukan data untuk merugikan dirinya dan Partai Republik. Trump lalu menunjuk E.J. Antoni, seorang ekonom konservatif, untuk memimpin BLS.

Gedung Putih juga mengeluarkan tanggapan resmi.

“Inilah mengapa kami membutuhkan kepemimpinan baru untuk mengembalikan kepercayaan dan keyakinan pada data BLS atas nama pasar keuangan, bisnis, pembuat kebijakan, dan keluarga yang bergantung pada data ini untuk membuat keputusan besar,” bunyi pernyataan tersebut, dikutip dari NBC News.

Menteri Tenaga Kerja, Lori Chavez-DeRemer, turut menambahkan kritik.

“Revisi besar-besaran hari ini memberikan alasan lebih bagi rakyat Amerika untuk meragukan integritas data yang diterbitkan oleh BLS,” katanya.

Sikap ini menambah sorotan terhadap independensi lembaga statistik tersebut.

3. Federal Reserve waspadai dampak ke perekonomian

ilustrasi Federal Reserve (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Bank sentral AS (Federal Reserve / The Fed) kini mencermati tanda-tanda pelemahan pasar tenaga kerja menjelang rapat pekan depan. The Fed diperkirakan akan menurunkan suku bunga acuannya untuk mengantisipasi perlambatan ekonomi. Kekhawatiran muncul karena tarif Trump dinilai bisa kembali memicu inflasi.

Bradley Saunders dari Capital Economics mengingatkan struktur ketenagakerjaan makin rapuh.

“Dengan jasa menjadi benteng terakhir pertumbuhan lapangan kerja, ini bukan pertanda baik bagi kesehatan keseluruhan pasar tenaga kerja,” katanya dalam catatan riset, dikutip dari BBC.

Ia menilai ketergantungan pada sektor jasa berisiko tinggi.

Chris Zaccarelli, kepala investasi Northlight Asset Management, menyinggung potensi ancaman yang lebih luas.

“Data inflasi baru yang akan dirilis pada hari Kamis (11/9/2025) dapat membawa ketakutan akan stagflasi—situasi di mana pertumbuhan ekonomi melambat sementara harga konsumen naik—ke garis depan,” katanya.

Pandangan ini memperlihatkan kecemasan pasar terhadap kombinasi inflasi dan perlambatan ekonomi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team