Jakarta, IDN Times - Seruan untuk memboikot produk-produk buatan Prancis di negara-negara Arab terlihat menggema di media sosial sejak akhir pekan lalu. Namun, daya tariknya semakin meluas ketika seruan boikot produk Prancis disampaikan oleh Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan pada Senin, 26 Oktober 2020 lalu.
Laman Euro News, Selasa, 27 Oktober 2020 melaporkan seruan agar warga Turki ikut memboikot disampaikan melalui siaran televisi nasional. Erdogan mengatakan agar tak mengacuhkan dan tidak membeli produk-produk buatan Prancis.
Beberapa jam kemudian, Yayasan Pemuda Turki (TUGVA), organisasi yang dekat dengan pemerintah menyebarluaskan daftar merek produk asal Prancis. Beberapa merek seperti jaringan supermarket Carrefour, Danone, hingga produsen mobil Peugeot dan Renault ada di dalam daftar tersebut. Mereka menyarankan warga Turki untuk menghindari membeli produk tersebut.
Namun, di hari yang sama, seruan itu justru ditertawakan oleh warga Turki sendiri. Sebab, pada Selasa kemarin, nilai mata uang Turki justru merosot 8,55 dan menjadi yang terendah dalam sejarah.
Sebagian warga menilai di saat kondisi perekonomian mereka juga belum pulih, tidak ada manfaatnya menyerukan boikot. Sebab, mereka tak mampu untuk membeli produk-produk buatan Prancis. Selain itu, tidak ada tanda-tanda pula bahwa seruan boikot itu akan menjadi kebijakan resmi.
Apakah seruan boikot dari negara-negara Arab akan berpengaruh terhadap perekonomian Prancis?